diambil dari Kompas, Kamis, 28 November 1996
HAM dan Nilai-nilai Asia
Oleh Arief Budiman
BULAN Oktober lalu saya mengikuti sebuah pertemuan internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Seoul, Korea Selatan. Pertemuan yang diselenggarakan oleh Carnegie Council on Ethics and International Affairs yang berpusat di New York ini bermaksud untuk mengetahui secara lebih mendalam persoalan-persoalan HAM yang ada di Asia, khususnya Asia Tenggara dan Asia Timur. Juga dimaksudkan untuk mengetahui hak-hak baru apa yang kini muncul sebagai akibat perkembangan ekonomi yang terjadi di kawasan ini. Maka, pembahasan pun menjadi sangat luas.Dalam membahas hak-hak baru yang muncul sekarang, dibicarakan misalnya hak-hak kaum buruh pendatang yang kini banyak bermunculan di Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Singapura. Juga hak dari generasi mendatang sehubungan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi demi mendapatkan surplus ekonomi bagi generasi sekarang, serta akibat dari pembangunan instalasi-instalasi tenaga nuklir bagi generasi mendatang. Apakah generasi sekarang berhak melakukan protes atas nama generasi mendatang? Masalah klasik tentang apakah HAM merupakan sesuatu yang universal atau kontekstual sehingga harus disesuaikan dengan budaya dan tingkat perkembangan masyarakatnya, juga tidak luput untuk dibahas. Pada tulisan ini, tentu saja saya tidak bisa membahas semua persoalan yang muncul pada pertemuan itu. Saya akan membatasi pembahasan hanya pada dua masalah yang menurut saya cukup penting dan menarik untuk ditampilkan.

Hak asasi dan nilai
Chandra Muzaffar, seorang teman dari Malaysia yang ikut dalam pertemuan itu menyatakan bahwa sampai pada saat ini, masalah HAM hanya dibahas sebagai masalah hak-hak individual. Masalah HAM tidak dibahas dalam hubungannya dengan nilai yang akan dicapai dengan hak-hak ini. Dia mengusulkan supaya pembicaraan tentang 
hak asasi harus selalu dikaitkan dengan nilai-nilai luhur yang ingin kita capai dalam hidup ini, bukan hanya membicarakan tentang hak saja. Mendengar ucapannya ini, saya teringat pada polemik-polemik saya di masa lalu, ketika saya masih sangat dipengaruhi oleh aliran filsafat Eksistensialis. Pada waktu itu dipersoalkan tentang dua macam kebebasan. Yang pertama, "bebas dari", yang kedua, "bebas untuk".

Pada yang pertama, kita de-finisikan kebebasan sebagai sesuatu yang negatif. Artinya, bebas adalah keadaan di mana campur tangan dari luar yang akan membatasi kebebasan itu dicegah. Dalam pengertian ini, individu meminta supaya kebebasannya tidak dicampuri pihak luar, tentunya sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang-orang lain. Bebas di sini adalah bebas dari campur tangan pihak luar.

Kalau HAM dihubungkan dengan kebebasan seperti ini, maka muncul beberapa masalah. Ini tidak berarti bahwa kebebasan yang seperti ini tidak penting. Tapi memang muncul persoalan-persoalan yang kadang-kadang sulit dijawab. Misalnya, apakah hak asasi atau kebebasan seseorang untuk menjadi pelacur harus dihormati? 
Atau kebebasan para anak muda untuk mengkonsumsikan pil ecstasy untuk menghindari realitas kehidupan modern yang keras, apakah ini juga harus dilindungi sepanjang tidak mengganggu orang lain? Atau yang kini menjadi perdebatan, apakah kebebasan seseorang untuk mengakhiri hidupnya (euthanasia) harus dijamin, kalau dia merasa bahwa dia sudah cukup menik-mati hidup ini? Pada konsep yang kedua, bebas untuk, kebebasan dan hak asasi dihubungkan dengan nilai-nilai yang mau dicapai manusia dalam hidup ini. Pengertian kebebasan di 
sini lebih bersifat positif, yakni kebebasan untuk merealisasikan nilai-nilai yang dianggap luhur. Karena itu, misalnya kebebasan untuk ber-euthanasia bisa ditolak, kalau kita menganggap bahwa hidup ini merupakan sesuatu suci, yang tidak bisa seenaknya saja diakhiri, meskipun oleh pemiliknya sendiri, kecuali kalau dia ada dalam keadaan sakit berat. Ini semua tergantung dari nilai luhur yang kita anut.

Sayang sekali, dalam pertemuan itu tidak dibahas bagaimana caranya untuk bersepakat tentang apa yang dianggap sebagai nilai-nilai luhur. Siapa yang menentukan nilai-nilai luhur ini? Apakah nilai-nilai luhur ini sesuatu yang universal, atau sesuatu yang kontekstual, terikat oleh ruang dan waktu? Meskipun persoalan-persoalan ini belum dipecahkan, tapi apa yang diajukan oleh Chandra Muzaffar bagi saya merupakan sesuatu yang penting. Dari pembicaraan tentang hak asasi yang berkisar pada kebebasan demi kebebasan saja, kita sekarang beranjak kepada persoalan kebebasan untuk merealisasikan nilai yang menjadi tujuan kehidupan umat manusia.

Nilai-nilai Asia
Seorang peserta Jepang menceritakan pengalamannya ketika dia naik kereta-api bawah tanah di Seoul yang penuh sesak. Pada saat itu, ada seorang tua masuk dan ikut berdesakan. Tiba-tiba, tanpa diminta, seorang anak muda secara spontan berdiri dan menyerahkan tempat duduknya kepada orang tua tersebut. "Hal seperti ini sudah sulit sekarang kita harapkan di dunia Barat," kata peserta Jepang ini. "Inilah nilai-nilai Asia yang harus kita pertahankan. Dalam diri orang-orang Asia masih hidup nilai-nilai seperti ini. Di Barat, hal seperti ini harus diatur oleh undang-undang yang harus dipaksakan oleh hukum supaya ditaati. Di Barat kita lihat beberapa tempat duduk ditempeli pemberitahuan bahwa tempat-tempat duduk tertentu diperuntukkan bagi orang-orang tua. Kalau perlu, 
untuk lebih meyakinkan, nomor undang-undangnya juga dicantumkan. Sesudah itu, akan terjadi polemik umum tentang batas umur untuk bisa dianggap sebagai orang tua: 60, 65 atau 62 setengah. Di Asia, semua ini diserahkan kepada rasa-pirasa individual, tak usah dipaksakan dan diancam oleh hukum. Inilah keluhuran 
nilai-nilai Asia, yang harus kita pertahankan," katanya menutup pembicaraannya. Apa yang diungkapkan oleh peserta Jepang ini cukup mempesona yang hadir. Tapi, saya mengungkapkan keraguan saya.

Nilai Asia yang diungkapkan peserta Jepang itu memang pernah ada di Asia dulu, tapi mungkin sekarang dalam proses menghilang. Saya khawatir, di negara-negara Asia modern sekarang, pemberitahuan tentang tempat duduk yang diperuntukkan bagi orang tua, juga sudah mulai muncul. Misalnya di Jepang sendiri. Proses ini 
terjadi bukan karena perasaan dan kesadaran orang-orang Asia menjadi mundur, melainkan oleh perubahan yang terjadi di masyarakat Asia itu sendiri. Hidup orang-orang Asia dulu masih mengandalkan pertanian, bukan industri. Sistem perekonomiannya masih bersifat pra-kapitalis. Karena itu, komunisme dan nilai-nilai kolektif masih sangat kuat berakar di masyarakat tersebut.  Nilai-nilai yang hidup dalam diri individu-individu merupakan juga nilai-nilai 
komunal. Tidak ada pertentangan antara keduanya. Karena itu, ketika pertimbangan untuk melakukan sesuatu diserahkan pada rasa-pirasa individu, tindakan yang terjadi masih sangat kuat mencerminkan nilai-nilai komunal ini.

Tapi Asia terus berubah, terutama Asia Timur. Asia menjadi masyarakat industri. Kapitalisme yang mula-mula datang melalui kota-kota besar, kini masuk juga ke daerah pedalaman. Asia menjadi makin serupa dengan negara-negara Barat, meskipun tidak sama. Asia memang tidak akan pernah menjadi sama dengan negara-negara 
Barat, tapi tidak bisa diingkari bahwa dia makin serupa. Negara-negara di kedua kawasan tersebut menjadi negara-negara kapitalis industrial. Maka, di Asia yang industrial dan kapitalistik ini, seperti juga yang terjadi di 
Barat, semakin terjadi perpisahan antara nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan individual dan nilai-nilai dan kepentingan kolektif masyarakat. Dalam kapitalisme, kerakusan untuk berkonsumsi secara individual dianggap positif karena meningkatkan permintaan pasar. Pertandingan tidak seimbang antara yang kuat dan lemah dianggap sehat karena meningkatkan kompetisi pasar bebas yang akan mengikis inefisiensi. Individualisme dan materalisme memang menjadi lokomotif bagi lajunya pertumbuhan kapitalisme.

Dalam keadaan seperti ini, saya khawatir bahwa apa yang disebut sebagai nilai-nilai Asia oleh rekan dari Jepang itu, sudah kehilangan kekuatannya. Bukan karena para pemuda Asia sudah terpolusi oleh budaya Barat, sehingga nilai-nilai Asia harus disuntikkan kepada para pemuda ini dengan dosis yang lebih tinggi. Ibarat pohon yang tumbuh subur pada lahan tertentu, dan layu ketika dipindahkan ke lahan yang lain, yang harus diobati bukanlah si pohon yang jadi layu ini. Yang harus dipersoalkan adalah perubahan yang terjadi pada lahannya. Karena itu, daripada kita berteriak bahwa orang Asia telah kehilangan nilai-nilai Asia-nya, dan kita perlu bekerja keras untuk merebut kembali nilai-nilai tersebut, saya lebih cenderung untuk bertanya: Apakah Asia seperti yang dulu kita miliki dan masih ingin kita miliki sekarang, masih ada? Kalau Asia-nya sudah berubah, dan memang kita sendiri yang menginginkan perubahan itu, bagaimana kita bisa bicara dan mempertahankan nilai-nilai Asia tersebut? 

* Arief Budiman, sosiolog, tinggal di Salatiga, Jawa Tengah.