dr. Kevorkian, Si Pencabut Nyawa

Lima tahun lalu Judith Curren yang sudah 19 tahun menderita, dengan susah payah menulis surat kepada dr. Kevorkian. Surat yang tulisannya seperti cakar ayam itu berbunyi, "Tolong akhiri hidup saya yang penuh derita ini".

Setelah menunggu sekian lama, baru tahun lalu di Quality Inn--sebuah motel kecil di utara Detroit, AS--permintaan Judith itu dikabulkan. Dr. Kevorkian menyiapkan jarum dan botol-botol infus yang akan membuat Judith (42) koma dan meninggalkan dunia fana. Sementara itu Janet Good, sang asisten, menyiapkan kamera video untuk merekam pernyataan keinginan terakhir pasiennya. Dr. Kevorkian menjelaskan, bila Judith sudah siap, ia tinggal menggerakkan tuas, dan dalam tempo seketika cairan infus yang mematikan akan masuk ke pembuluh darahnya.

Suami Judith, Franklin Curren (57) psikiater di Boston, mulanya menentang keinginan istrinya. Tapi, ketika kondisi istrinya makin memburuk--akibat sering tak bisa tidur, asma yang berulang kambuh ditambah serangan demam, tak tahan cahaya, tak tahan bising, kaki mati rasa--ia akhirnya menyerah.

Malam sebelum menemui dr. Kematian (dr. Death) mereka menginap di hotel. Malam terakhir itu dilewatkan dengan membicarakan penyakit yang diderita Judith, juga tentang perkawinan mereka yang sudah berjalan 10 tahun, dan tentang anak perempuan mereka yang kini berumur 12 dan 9 tahun.

"Sekali lagi saya mencoba membujuk dia untuk membatalkan niatnya," ujar Franklin. "Saya bilang padanya, seandainya dia pasien saya, mungkin saya bisa menerima keputusan itu; tetapi sebagai suami saya tak bisa menerimanya." Tak mengherankan, bila malam itu menjadi malam yang penuh tangis. Mereka pun kurang tidur.

"Terima Kasih, dr. Kevorkian"
Bagi Kevorkian yang buka praktek semacam ini sejak Juni 1990, kasus Judith Curren agak rumit. Tak seperti pasien-pasiennya yang lain, Judith tidak menderita kanker stadium lanjut yang tak ada obatnya. Dia pun bukan penderita kelumpuhan total. Judith menderita penyakit aneh. Berbagai dokter top di AS selalu bilang, Judith cuma menderita sindrom kelelahan kronis. Meski penyakitnya sendiri tidak mematikan, menurut hasil pemeriksaan laboratorium, daya tahan tubuh Judith selemah pasien AIDS. 

Berbagai terapi, mulai dari obat sampai psikoterapi sudah dijalani, tapi rasa sakit tak juga berkurang. Semua ahli menganjurkan agar dia dimasukkan ke "panti perawatan" (khusus untuk pasien yang tidak dapat sembuh) saja. Itulah sebabnya dr. Kevorkian semula sulit menerima Judith sebagai pasien. 

Saat Kevorkian bersiap-siap memasang jarum infus yang dihubungkan ke tiga buah botol, Judith dan suaminya saling berciuman. Setelah itu, Judith menyandarkan tubuhnya dan menggerakkan tuas mesin pembunuh dengan mantap. Ia lalu menatap sang dokter. "Terima kasih dr. Kevorkian," itulah kata-kata terakhirnya. Ia tertidur dan akhirnya meninggal. 

Judith Curren adalah paisen Kevorkian yang ke-35. Layaknya pasien-pasien lain, setelah meninggal jenazah Judith dibawa ke RS Pontiac Osteopatic. Pihak kejaksaan kemudian minta agar dr. Kevorkian yang berusia 72 tahun mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan.

Sampai saat ini, sudah tiga kali Kevorkian diajukan ke pengadilan sehubungan dengan perbuatannya, namun selalu dinyatakan bebas.

Pemunculannya di pengadilan sering menjadi headline surat kabar dan TV, sehingga ia terkenal di seantero AS. Bahkan menurut jajak pendapat, namanya sama terkenalnya dengan Bill dan Hillary Clinton, presiden AS 1999 dan istrinya. 

Akhir tahun 1998, ia kembali bikin heboh ketika stasiun TV CBS menayangkan rekaman aksinya terhadap Thomas Youk (52), penderita kelumpuhan total yang tak dapat disembuhkan. Dalam rekaman itu tampak Kevorkian minta izin kepada Thomas untuk memberikan tiga suntikan mematikan. Ini "aksi pembunuhan aktif" pertama yang dilakukannya. Setelah itu, wartawan kemudian bertanya apa yang kemudian akan terjadi. Dijawab, "Dia akan segera meninggal." Memang tak lama kemudian kepala Thomas terkulai dengan mata terpejam.

Pahlawan atau Monster?
Sudah lama dr. Kevorkian selalu mengenakan kacamata hitam agar tidak dikenali orang. Di restoran, ia senantiasa memilih tempat di pojok. Kalau sampai ia dikenali, dia sering diperlakukan sebagai selebriti. 

Memang, sebagian orang mengelu-elukan dia sebagai pahlawan. Bagi mereka, dialah pejuang "Hak Terakhir" manusia yang tak mau menghabiskan sisa hidup di panti perawatan atau hidup di antara selang dan mesin sebelum akhirnya meninggal juga.

Sebagian lagi, rekan-rekan seprofesinya, memandang Kevorkian sebagai monster. Oleh gereja ia pun dikecam. Namun, ia tidak peduli. "Mereka diam saat ada orang bunuh diri. tapi ketika seorang dokter menolong seorang yang menderita, kenapa mereka malah ribut meminta pertanggungjawaban?" ujarnya geram. Jelas dia sadar, sedikit saja membuat kesalahan, dia akan dijebloskan ke penjara. 

Sepanjang kariernya, dr. Kevorkian tak hanya sekali-dua terlibat konflik. Ketika baru menjadi dokter patologi, belum berusia 30 tahun, ia memprotes sikap kolega-koleganya yang tega melakukan percobaan kedokteran terhadap para terpidana mati. Dia juga pernah bereksperimen melakukan transfusi darah dari jenazah ke pasien. Alasannya, siapa tahu acara ini dapat diperlakukan di medan peperangan dimana tak tersedia tempat penyimpanan darah. Dia juga pernah melemparkan ide penjualan organ terpidana mati dengan cara lelang.

Dr. Death telah berhubungan dengan jenazah hampir sepanjang hidupnya. Sebagai patolog, ia mencoba mencari metode sederhana untuk mengetahui saat yang pasti manusia dapat dikatakan meninggal. Selain itu, baginya jenazah merupakan "laboratorium" yang paling canggih dan murah. 

Tetapi, gara-gara pemikiran yang berbau horor ini ia dijauhi rekan-rekan sejawat dan ditolak para pemilik klinik. Akibatnya, Kevorkian yang meniti kariernya di Michigan terpaksa harus sering pindah kerja sampai ke Kalifornia. baru menjelang pensiun ia kembali ke Detroit. 

Pertama Kali di Mobil
Di sinilah ia mulai berpetualang dengan kematian. Awalnya pada musim panas 1989, di TV ia menonton penayangan seorang pria lumpuh (dari leher sampai kaki) berusia 38 tahun yang mengatakan ingin mengakhiri hidupnya. Orang itu mohon agar ada orang yang mematikan mesin pernafasannya. Dr. Kevorkian memutuskan mau menolong orang itu. 

Ia lalu mulai bekerja membuat "mesin maut", berupa alat yang dilengkapi tiga botol infus. Masing-masing berupa garam dapur, obat tidur thiopenta, dan kalium klorida. Begitu larutan-larutan itu mengalir ke tubuh pasien, dalam waktu beberapa menit saja ia akan tewas. Rencananya, pria itu harus mengoperasikan mesinnya sendiri dengan cara membetot seulas tali yang tersedia dengan giginya untuk mengalirkan cairan infus. Sayang, pria itu keburu meninggal sebelum ia sempat menolongnya. 

Karena ingin mencoba mesin temuannya, Kevorkian mengirimkan iklan di koran setempat. Bunyinya, "Adakah anggota keluarga Anda yang sakit parah dan mengakhiri hidupnya? Hubungi ..." Iklan itu ditolak, tapi pemilik koran penasaran dan malah mengirim wartawan untuk melihat mesin ciptaannya sekaligus mewawancarainya. Demikianlah ia malah memperoleh promosi gratis. 

Akhir tahun 1989, Kevorkian mendapatkan pasien pertama yakni Janet Adkins (54), seorang penderita alzheimer. Meski jadi sangat pelupa, Janet masih mampu bermain tenis dengan anak-anaknya. Kevorkian menilai wanita ini bukan pasien yang tepat.

Namun, Janet dan suaminya terus-menerus merengek. "Ketika itu, saya benar-benar dihadapkan pada keputusan yang sulit!" ujar Kevorkian. akhirnya, ia setuju menerima Janet sebagai pasiennya. Namun, tak sebuah hotelpun mau menerima kamarnya dijadikan tempat "pembunuhan". Biro pemakaman, dewan gereja yang leberal di daerah itupun idem. Janet Good, asisten dr. Kevorkian dan juga pendiri "Organisasi - Hak untuk Mati" juga menolak, karena suaminya, mantan polisi, keberatan di rumahnya terjadi tindakkan melawan hukum.

"Setelah mencoba ke sana kemari, tak satu tempat pun mau menerima, kami memutuskan untuk melakukannya di mobil VW yang diparkir di depan rumah saya," kenang Kevorkian.

Sehari sebelum "eksekusi", di depan kamera video wanita pemalu yang tak mau mengakhiri hidupnya dengan minum obat tidur tapi lebih memilih "pergi" dengan "mesin pembunuh" itu, menyatakan ia ingin mengakhiri penderitaannya yang makin lama makin hebat. Ia sempat terdiam sejenak karena mengingat-ingat kata "mati". Malam harinya, Janet dan suaminya makan malam bersama dilanjutkan minum-minum sampai mabuk. Keesokan harinya, 4 Juni 1990, Janet siap untuk "berangkat". Sekali lagi ia mencium suaminya dan mengucapkan salam perpisahan.

Sementara itu, dr. Kevorkian yang baru pertama kali "buka praktek" tampak senewen sampai menyenggol ampul obat tidur yang akan membuat Janet koma. Setelah isi obat itu tumpah, tapi untung dia membawa cadangan.

Kevorkian berkali-kali mencoba mesinnya sehingga membuat Janet Adkins tak sabar. Ketika akhirnya pengetesan selesai, prosesnya tertunda lagi karena jarum infus sulit masuk ke pembuluh nadi pada tangan Janet. Setelah berhasil masuk, Koverkian masih bertanya lagi, "Apakah Anda masih mau meneruskan?"

"Katakan saja bagaimana saya harus menggerakkan tuasnya," sahut Janet

Sekali lagi dr. Kevorkian bertanya, "Anda yakin?"

"Ya!" sahutnya lagi.

Setelah menggerakkan tuasnya, ia merentangkan tangannya dan cairan dalam botol infus pun mengalir ke tubuhnya.

"Terima kasih!" ujar Janet sambil melengkungkan tubuhnya seolah-olah ingin mencium dr. Kevorkian. Kemudian kepalanya terkulai.

"Selamat jalan!" ujar dr. Kevorkian.

Kulit Janet Adkins pun kemudian berubah menjadi abu-abu. Beberapa menit monitor pengukur aktivitas jantung menampakkan garis lurus menandakan Janet telah tiada.

Diserbu Polisi
Sejak saat itu, Jack Kevorkian memperoleh julukan "dr. Death". Sampai saat ini sudah 130 pasien yang ditolongnya. Kadang dilakukannya secara terbuka, kadang tertutup atas permintaan keluarga pasien.

Dulu publik AS masih merasa tabu membicarakan masalah "pembunuhan" ini, kini tidak lagi. Menurut beberapa pengritik, mesin pembunuh ciptaan dr. Kevorkian yang sederhana ini, meski di satu sisi menyelesaikan masalah komplek di seputar pasien, di sisi lain berpotensi mendatangkan masalah juga. Beberapa mengkhawatirkan terjadinya situasi seperti dalam novel Animal Farm-nya George Orwell yang terkenal itu. Bisa saja ada pihak tertentu yang kemudian memanfaatkan organ-organ tubuh pasien dr. Kevorkian. Begitupun menurut jajak pendapat, sebagian besar penduduk AS oke-oke saja terhadap aksi dr. Kevorkian.

Kini dr. Kevorkian setiap bulan mendapat 50-100 pucuk surat dan telepon "lamaran" dari orang-orang yang ingin menjadi pasiennya. "Tapi kami sangat selektif dalam memilih pasien karena setiap tindakan kami tidak lepas dari intaian polisi," ujar dr. Kevorkian.

Sekali peristiwa pada 6 September 1996 di Quality Inn di Bloomfield--tempat Judith Curren dan beberapa pasien dr. Kevorkian mengakhiri hidupnya--Kevorkian sedang memberi tahu proses "keberangkatan" pada Issabel Correa (60), penderita kelainan sunsum tulang belakang, ketika tiba-tiba enam orang polisi menyerbu masuk.

Mereka memeriksa dus-dus botol infus dan kaset yang berisi rekaman keinghinan para pasiennya. Setelah memeriksa semua yang hadir, polisi itu pergi. Barulah setelah itu, dr. Kevorkian bisa beraksi.

Menurut pengamatannya, dalam menghadapi ajal ada pasien yang riang bahkan bercanda, tapi umumnya sedih. Mereka berbaring sambil bergumam; biasanya sebelum "berangkat" mereka mengatakan sesuatu. Dari kasus yang paling sulit adalah kasus Judith Curren. "Bukan karena penyakitnya, tapi karena hubungan kami yang bertahun-tahun sudah terlanjur erat," ujar dr. Kevorkian. (Hans-Herman Klare/cis; Intisari Agustus 1999)