Amar Singh, Tantangan Profesor Bedah Mayat

Sebelumnya, Prof dr Harnam Amar Singh DSF tak begitu dikenal masyarakat luas. Penampilannya yang low profile menyebabkan ia hanya dikenal di kalangan terbatas. Dulu, ia lebih dikenal di kalangan kepolisian, Fak. Kedokteran Univ. Sumatera Utara (FK USU), dan para pasiennya. Karena pekerjaannya hanyalah dokter spesialis forensik di RSU Dr Pirngadi Medan. 

Namun, ketika kasus pembantaian 42 wanita muda di ladang perkebunan tebu Sei Semayang PT Perkebunan Nusantara II Desa Amandamai, Kec. Medan Sunggal, Kab. Deliserdang (16,5 km barat Medan), tanggal 27 April 1997, namanya mencuat ke permukaan. Ia bukan hanya diliput oleh media nasional, tapi juga media internasional seperti CNN, Streets Times, TV3 Malaysia. 

Betapa tidak. Dialah Ketua Tim Forensik pengidentifikasi 42 kerangka mayat wanita korban pembunuhan tersangka AS alias dukun Dtk (47) yang menggemparkan itu. Bersama dokter forensik lainnya, sejak terbongkarnya kasus pembantaian 42 wanita itu, ia ikut menemukan 42 kerangka bersama petugas kepolisian Poltabes Medan. 

***

Sosok fisiknya gampang diingat: sorban melilit di kepala dengan jambang dan kumis melintang. 
"Pertama kali melihat pembongkaran kerangka jenazah dengan kondisi jenazah yang begitu mengharukan, saya sedih juga. Tindakan dukun AS keterlaluan. Di dalam satu lubang ada tiga, empat dan lima wanita muda, dan setengah tua, dalam keadaaan tak berbusana," kata dosen FK USU ini.

Ia menambahkan, "Saya hanya bisa ikut memeriksa membantu pengidentifikasian jenazah korban. Untuk melihat berapa umurnya, apa jenis kelaminnya, apakah ada cedera di tubuhnya, dan apakah memang kerangka tersebut berasal dari tulang belulang manusia. Apakah memang ada tanda-tanda khusus di badannya. Tingginya berapa."

Di ruang prakteknya berukuran 3 meter x 3 meter yang dilengkapi televisi dan telepon, ia menuturkan ketertarikannya pada ilmu kedokteran di bidang forensik. "Sejak mahasiswa (1967) saya sudah berminat bekerja di bagian forensik. Waktu itu dosen saya almarhum dr Arke Satija sering memberi pandangan dan masukan: kalau mau mengabdi bekerjalah di bagian forensik. Di sana Anda akan mengabdi kepada masyarakat demi menegakkan kebenaran."

"Terus terang saya ini berasal dari golongan orang susah. Untuk membiayai kuliah pun harus mengajar private less ke sana sini. Orangtua saya sudah tua dan saudara kandung saya masih kecil-kecil. Saya pernah mengajar ke rumah mantan Gubernur Sumut Marahalim Harahap, dan dosen saya sendiri untuk belajar bahasa Inggris," cerita anak kedua dari delapan bersaudara buah perkawinan Harnam Singh dan Nihal Kaur ini. 

Pengusaha tekstil raksasa Texmaco, Marimutu Sinivasan, ketika menghadiri pengukuhan guru besar Amar Singh, tanggal 19 Juni lalu mengakui Amar Singh sebagai sosok dokter yang ulet dan punya kepedulian terhadap orang kecil. Kata Sinivasan, "Anda bisa bayangkan di kota besar seperti Medan, seorang profesor masih rela diberi Rp 5.000 oleh pasiennya yang membutuhkan pertolongan."

Sebagai seorang teman, kata Marimutu, dia adalah sahabat sejati. Tuturnya, "Ia tak suka menyakiti orang lain. Dan tidak merendahkan orang yang memiliki kecerdasan pas-pasan. Saya bukan ingin memuji-muji, tapi dia memang orang yang cerdas. Ketika masih sekolah dasar bersama saya, ia selalu menjadi orang nomor satu." 

Sambil tersenyum, Amar Singh mengungkapan, niat membantu orang kecil semasa pendidikan sudah tertanam. "Saya memang berkecimpung di bidang forensik walaupun saat itu masih sebagai asisten. Saya tertantang untuk mengetahui apa penyebab seseorang bisa mati dalam kondisi tidak wajar. Jika kita mampu mengungkapnya, itu merupakan kebahagiaan tersendiri," katanya. 

Kalau ditinjau dari sudut ekonomi, bagian forensik merupakan lahan yang "kering". Penghargaan pengabdian dari masyarakat atau dari kalangan yang dibantu, sudah menyenangkan hati. 

"Anak saya (Surya Darma - Red) yang baru selesai kuliah di FK USU saya anjurkan mengabdi kepada masyarakat. Sekarang dia mengikuti PTT (pegawai tidak tetap) sebagai dokter di Propinsi Irian Jaya," tutur pria kelahiran Pertumbukan, Deliserdang, 27 Juli 1934 ini.

***

Amar Singh mengungkapkan, bekerja di bidang forensik merupakan tantangannya berat. 
"Tak jarang caci maki dilontarkan masyarakat kepada saya. Bahkan terkadang mengancam. Masih ada sebagian warga masyarakat yang menganggap setiap kali melakukan pembedahan jenazah, dokter mengambil jantung si mayat untuk bahan praktek pendidikan. Padahal kita tak pernah melakukannya," kata dokter spesialis forensik lulusan Universitas Indonesia (UI) 1982 itu. 

Cara mengatasinya, menurut Amar Singh, adalah dengan memberi pengertian tentang arti dan makna pembedahan jenazah. Para ahli forensik bertugas atas instruksi dari polisi. 
"Kita ingin membantu, tapi masyarakat berpikir lain. Ini pengalaman yang tak menyenangkan, namun bisa dinikmati," kata Amar Singh yang juga anggota Wonca (World Organization of National Colleges) itu.

Padahal, lanjutnya, tak ada suatu aturan yang menyatakan bahwa pemeriksaan jenazah harus mendapat persetujuan keluarga lebih dulu. Bahkan KUHAP pasal 222 menyatakan, mereka yang menghalangi pemeriksaan jenazah dapat dihukum. "Begitupun kita selalu meminta persetujuan dari keluarga korban," katanya.

Biaya otopsi juga sering menjadi cercaan masyarakat, padahal sudah ada peraturan daerah yang menentukan. "Sudah mati dibedah dan minta duit lagi, apa ini? Saya terkadang tidak menjawab. Padahal kita sering tidak mengutip biaya apabila si korban berasal dari keluarga miskin," katanya. 

"Namun, di sisi lain saya mengakui ada kegembiraan apabila dapat mengungkap kasus-kasus pembunuhan. Sudah ribuan mayat yang saya bedah. Sejak tahun 1967 rata-rata 300 jenazah yang dibedah tiap tahunnya. Dalam sehari terkadang saya membedah empat, lima atau enam jenazah," ungkap Amar Singh yang pernah mengikuti Post Graduate Course Singapore (1975) itu.

***

Menurut Amar Singh, kriminalitas semakin canggih, modus operandinya semakin bervariasi dengan memanfaatkan kemajuan iptek. Maka para penegak hukum harus dapat memanfaatkan dukungan iptek. 

"Dalam hal ini limu-ilmu forensik harus dikedepankan guna membuat terang suatu perkara pidana, mengingat bahwa bukti-bukti ilmiah merupakan alat bukti yang tidak dapat disangkal oleh terdakwa di depan pengadilan, serta dapat meyakinkan hakim untuk memutuskan perkara," ujar Amar Singh yang sudah menyelesaikan 16 karya ilmiah bidang forensik yang dipublikasikan di Indonesia dan empat karya ilmiah di Singapura, India, London, dan Amerika Serikat. 

Ia menekankan perlunya pendidikan lanjutan forensik. Dokter-dokter muda dikirim ke sentra-sentra ilmu forensik yang lebih maju. "Saya ingin memperdalam bidang keracunan," tuturnya. Niatnya terpacu oleh langkanya dokter spesialis keracunan. Ia berharap ilmu kedokteran kehakiman dapat berkembang sesuai dengan derap kemajuan zaman. Dengan itu untuk menentukan sebab kematian tidak hanya dengan bedah jenazah, tetapi dengan berbagai cara pemeriksaan agar lebih mudah diterima oleh masyarakat.

Profesor baru ini mengaku masih merasa kikuk. "Saya belum terbiasa dengan sebutan profesor. Rasa-rasanya gelar itu terlalu berat. Apakah saya ini sudah pantas atau tidak. Ini memberi cambuk kepada saya untuk mendalami ilmu saya. Semuanya saya niatkan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara," ujarnya. (sumber: Kompas Senin, 7 Juli 1997/Surya Makmur Nasution)