Gubernur Maluku Saleh Latuconsina: 
"Ambon Itu Bagaikan Benang Kusut ..." 

PENEMBAK jitu di Maluku, menurut Gubernur Maluku Saleh Latuconsina, adalah bagian dari skenario pihak tertentu. Dengan kehadiran sniper itu, dipancinglah kemarahan kedua pihak. Faktor lain yang juga memicu kerusuhan adalah timbulnya sikap berpihak di kalangan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri. Contohnya, luluh lantaknya Asrama dan Gudang Peluru milik Brimob Polda Maluku di kawasan Tantui, yang menyebabkan pasukan Brimob cerai berai. 

Begitu menurut pandangan doktor lulusan sebuah universitas di Prancis ini, yang mulai bertugas sebagai gubernur Maluku sejak dilantik Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memed, tahun 1997. Tidak mudahnya mendamaikan mereka yang bertikai di Maluku, katanya, karena masalahnya sangat kompleks. Ada isu gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan separatis Islam, masalah pemulangan Laskar Jihad, pembelotan ratusan oknum TNI dan Polri, antara lain. Berikut wawancara koresponden TEMPO Friets Kerlerly untuk TEMPO Interaktif dengan Latuconsina tentang konflik di wilayahnya dan diberlakukannya darurat sipil sejak beberapa lama lau. Wawancara
dilakukan selama satu setengah jam, di ruang kerjanya, kantor Pemda Tk. 1 Maluku, Ambon. 


Sudah lebih dari satu bulan keadaan darurat sipil diberlakukan, tapi konflik masih terus terjadi. Bisa Anda ceritakan keadaan terakhir? 
Pada saat pemberlakuan darurat sipil di Maluku, saat itu sebenarnya masyarakat sangat mengharapkan (darurat sipil) bisa membantu memulihkan keamanan. Tapi kemudian terjadi lagi konflik, (pelaku) memanfaatkan kekosongan aparat di pos penjagaan di Poka, Rumah Tiga, menyusul Waai, dan terakhir di sini di desa Alang Asahude. Kami
masih mempelajari apa sebenarnya yang terjadi. 

Sejauh ini apa hasilnya? 
Ternyata, ada yang dilupakan di luar pendekatan keamanan yang selama ini kami pakai. Yang sangat penting adalah pendekatan politik dan sosial kemasyarakatan. Dari situ kami akan melakukan berbagai
langkah pemecahan. 

Kongkretnya seperti apa? 
Ada keinginan dari kedua belah pihak untuk dilakukan perundingan dengan melibatkan unsur adat. Selain itu, perlu rotasi pasukan, karena kalau pasukan itu terlalu lama bertugas dan tinggal di sini akan menimbulkan persoalan baru. 

Jadi apa sebenarnya kendala untuk menangani pertikaian ini? 
Terkait dengan konsolidasi, disposisi, dan penempatan pasukan. Lalu, mencari orang-orang yang memicu kerusuhan, apakah itu orang sipil atau orang-orang tertentu atau itu orang dari luar. Ada tiga faktor yang selama
ini jadi hambatan. Pertama, masyarakat yang tinggal di sini. Kedua, orang-orang yang datang dari luar, dan bukan orangnya saja, tapi juga paham-paham atau instruksi-instruksi, provokasi dari luar, termasuk yang dinamakan Laskar Jihad. Mereka ini terus membuat kerusuhan dan (tampaknya) ingin melanggengkan kerusuhan di Maluku ini. Ketiga, ada oknum-oknum TNI dan Polri yang dianggap tidak netral dan berpihak kepada kelompok tertentu sehingga semuanya itu membuat konflik tak pernah mereda. 

Bisa lebih dijelaskan? 
Ketiga faktor tadi diselesaikan secara serentak, itu tidak mungkin. Masyarakat di sini memang menuntut agar Laskar Jihad dipulangkan, dan Pemerintah menarik TNI dari sini. Tapi dua-dua itu tidak mungkin. Jadi, pendekatan utama adalah menyadarkan masyarakat untuk menahan diri dan jangan terlalu mempersoalkan faktor kedua dan ketiga tadi. Selama masyarakat bisa menahan diri, dua kelompok yang menggunakan kekuatan masyarakat sebagai alat untuk membuat rusuh, akan kehilangan (dayanya). Katakanlah Laskar Jihad itu sekitar 1.800
orang, dan menurut laporan terakhir mereka tinggal 700-800 orang. Jika saja masyarakat yang jumlahnya puluhan ribu, bahkan ratusan ribu itu menahan diri, dia itu (Laskar Jihad) mau bikin apa? Atau oknum-oknum TNI/Polri yang jumlahnya hanya beberapa orang saja, mau bikin macam-macam apa? Jadi, intinya, menahan masyarakat untuk tidak terprovokasi dan sadar bahwa (pertikaian) ini harus distop. 

Bagaimana dengan ide perundingan, semacam kongres Rakyat Maluku yang sudah pula ditawarkan kepada Anda? 
Memang sudah ada keinginan dari kedua kelompok, Selam dan Serani (Islam dan Nasrani) untuk menyelesaikan konflik ini dengan melakukan perundingan. Bagi saya, perundingan itu soal kedua. Yang pertama, berusaha menahan masyarakat untuk tidak terprovokasi. Dan antara kedua kelompok itu, Selam dan Serani, sudah stop bertikai dan kami akan lihat pengaruh keadaan. Persoalannya, TNI/Polri yang sudah sekian lama bertugas di sini, enam atau depan bulan, secara psikologis mungkin saja berulah yang tidak menguntungkan. Atau ada saja militer
yang "nakal".

Ada yang menilai, aparat intelijen tak mampu mendeteksi secara dini kerusuhan di Maluku sehingga ikut memperlebar konflik ke daerah lain di Maluku ? 
Sudah saya sampaikan agar ada penambahan aparat intelijen untuk segera memperkuat intelijen yang ada di sini. Dan Selasa ini (8 Agustus), mereka sudah tiba di Ambon. Sudah ada pasukan khusus juga yang akan datang hari ini untuk melawan para sniper yang masih terus melakukan aksi provokasi massa. 

Bagaimana dengan Laskar Jihad? 
Orang-orang yang tidak berkepentingan, entah Selam atau Serani, akan kita pulangkan. Tehadap Laskar Jihad, sudah ada dua pendekatan. Pendekatan persuasif dan pendekatan represif. Bagi saya, represif tidak akan kita gunakan. Alasannya, itu bisa membuat masyarakat Islam tersinggung. Kita akan beri pengertian dahulu, katakanlah kedatangan mereka itu secara tidak langsung mempengaruhi atau membuat satu kelompok masyarakat merasa terancam dan sebagainya. Sebaiknya mereka (Laskar Jihad) itu ke luar dari sini dulu, dan ini sudah menjadi program dari penguasa darurat sipil di Maluku. 

Adakah program lain untuk segera memulihkan keamanan di Maluku? 
Kami juga melakukan pelarangan terbatas dan untuk sementara, orang-orang dari luar dilarang masuk ke Ambon. Perintah penguasa darurat sipil untuk melakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal yang memuat penumpang, itu akan sulit dilakukan. Oleh karena itu, yang bisa saya perintahkan: mengisolir semua kapal yang masuk ke pelabuhan Ambon. 

Bagaimana dengan hal-hal teknis seperti jumlah anggaran, jumlah aparat, kecakapan aparat ... 
Soal aparat birokrat yang ada di Ambon, banyak yang keluar. Aparat pemerintahan kota seolah-olah lumpuh dari RT-RW, camat, kepala desa, lurah. Mencari mereka sangat sulit. Bisa dilihat, selama kerusuhan ini, Walikota hanya dibantu beberapa staf. Di kantor Gubernur ini saja, hanya 10 persen yang masuk kantor. Dengan staf yang terbatas itu kami melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat dan besar. Lalu mengenai hancurnya Barak Brimob di Tanturi yang menyebabkan (sebagian) aparat Brimob yang beragama Islam dan (sebagian) aparat Brimob yang beragama Nasrani bergabung dengan masing-masing kelompoknya sudah kami lakukan konsolidasi dua minggu terakhir ini --baik oleh Kapolda Maluku maupun Kapolri di Jakarta. 

Apa akar masalahnya? 
Sulit untuk kita ceritakan. Dan kalau cerita akar masalahnya, menurut saya, kita hentikan dulu pertikaian. Setelah itu, baru kita sama-sama duduk untuk memecahkan masalahnya. 

Bagaimana dengan isu sensitif yang digunakan orang-orang untuk memprovokasi kedua kelompok yang bertikai? 
Di kedua kelompok itu ada saja isu-isu sensitif, yang sudah sejak awal kerusuhan memprovokasi massa. Katakanlah kelompok putih yang menuduh merah akan mendirikan negara RMS ( Republik Maluku Serikat). Dan sudah setahun yang lalu, saya sudah meminta kepada Kapolda Maluku dan Kapolri agar membeberkan data-data yang ada. Silakan saja dibuka secara transparan oleh penegak hukum yang ada di sini, supaya masyarakat tahu. Hal-hal semacam itu akan menjadi sumber perpecahan ddan malapetaka. Kalau memang ada RMS, siapa yang melakukan, dan sebagainya. Dan kalau betul tidak ada, ya tidak perlu dipersoalkan.

Lalu bagaimana dengan buku Rustam Kasor yang menulis RMS berada di balik kerusuhan Maluku? 
Semua orang punya hak untuk menulis. Tapi kami juga harus melihatnya secara transparan, lalu jangan dijadikan sebagai acuan utama bahwa benar RMS itu ada.

Jadi (buku) itu benar; kenapa tidak diklarifikasi? 
Itu harus diklarifikasi, tapi jangan sekarang. Kami harus stop dulu bertikai, baru kami serahkan kepada dua kelompok itu untuk berunding, untuk menentukan.

Sampai kapan pemberlakukan darurat sipil di Maluku? 
Saya tidak tahu. Ini masalah Presiden dan Presiden bisa mencabutnya kapan saja. Tapi saya sudah menyusun program darurat sipil itu sampai dengan tiga bulan. Mudah-mudahan bisa tercapai dan memulihkan keamanan di Maluku.

Apa saja programnya? 
Intinya, memulihkan situasi keamanan dengan segala kewenangan yang dipunyai penguasa darurat sipil. Terutama, mengusir orang ke luar, melakukan penyitaan, menggeledah orang, dan menahan orang. 

Tapi jika pemberlakukan darurat sipil itu gagal, apa bisa memberlakukan darurat militer? 
Kalau sesuai dengan penjelasan yang ada, darurat militer itu diberlakukan terkait erat dengan besarnya ancaman. Kalau ancaman yang ada di sini, tidak harus memberlakukan darurat militer.

Ada tekanan dari kelompok tertentu untuk segera menghadirkan intervensi pasukan keamanan PBB? 
Begini, kalau kita melihat lebih jauh, kembali kepada tiga persoalan tadi. Campur tangan atau tidak campur tangan, persoalan di Maluku ini harus diselesaikan atau akan terselesaikan dengan kesadaran masyarakat yang ada di sini. Katakanlah intervensi asing masuk, apakah dia akan menyelesaikan persoalan? Dia mungkin akan membantu menciptakan keamanan tapi persoalan tetap tidak akan terselesaikan, jika saja kedua pihak ini tidak mau menyelesaikan sendiri. Dan kondisi di Maluku berbeda dengan kondisi di Timor Timur.

Ada yang menilai, kerusuhan ini untuk membersihkan atau memusnahkan suatu etnis atau satu agama tertentu di Maluku ... 
Nah, itu tidak benar dan tidak obyektif. Kita harus fair mengatakan bahwa kedua-duanya menjadi korban. Saya belum punya data pasti, tapi kita bisa lihat, Islam sudah berapa banyak yang out dari Maluku, begitu juga dengan Kristen. Dan satu hal, yang tidak mungkin terjadi, seolah-olah konflik ini utuk mengusir orang Kristen. Jangan harap Islam mendirikan satu netara tanpa Kristen, dan sebaliknya. Orang Islam di Maluku tidak bisa mengusri orang Kristen di Maluku, dan jika Islam-Kristen bersatu, tak mungkin ada kekuatan lain yang bisa memprovokasinya. Dan jangan kita menutup mata untuk melihat Islam-Kristen yang ada di Tual, Maluku Tenggara. Kenapa Tual bisa berhasil?

Mungkin upaya penghentian kerusuhan di Ambon terkesan lamban dibandingkan upaya di Tual? 
Bukan lamban, melainkan orang di Ambon belum sadar bahwa kita ini dijadikan bulan-bulanan. Di Tual ada kekuatan adat dan bisa membendung provokasi dari luar, sedangkan orang di Ambon itu bagaikan benang kusut yang jika diurai akan semakin putus-putus. Artinya, untuk mencari penyelesaian harus hati-hati agar mereka tidak
tersinggung.

Akhir-akhir ini banyak daerah yang meminta merdeka. Bagaimana dengan Maluku? 
Sampai dengan saat ini, (Maluku) tak mungkin merdeka. Dengan kondisi hancur begini, tidak mungkin. Yah, kalau Islam-Kristen itu bersatu, baru kita bilang mau merdeka (tertawa kecil). Tapi kalau Islam sendiri, dan Kristen sendiri, (merdeka) itu omong kosong. 

Artinya Islam-Kristen bersatu baru bisa merdeka? 
Pasalnya, terlalu sulit, karena Maluku masih terlalu mencintai republik ini.

Bagaimana dengan otonomisasi yang akan segera diberlakukan? 
Bagi saya, perlu dibentuk daerah-daerah tingkat dua yang lebih banyak. Karena otonomisasi itu lebih banyak di daerah tingkat dua.

Kerugian Pemda Maluku selama kerusuhan ini terjadi? 
Saya belum hitung berapa angka persisnya. Tapi kerugian yang sudah ada sebelumnya sekitar Rp 2 triliun. Angka pasti sampai dengan terakhir ini belum jelas.

Dari mana mendapatkan dana untuk membangun kembali Maluku? 
Kalau membangun kembali Maluku dalam arti fisik, itu sudah ada. Kami akan mendapatkan dana dari pusat. Dan pemerintah pusat mendapatkan dana bantuan itu dari luar negeri seperti Jepang dan negara-negara di Eropa. Tapi syaratnya, selesaikan dulu konflik yang ada di Maluku.

Artinya damai dulu baru ada bantuan? 
Ya, sudah pasti. Apa artinya kami bangun rumah, lalu dibongkar lagi oleh orang yang masih marah?

Butuh berapa lama untuk memgun kembali Maluku? 
Kalau membangun fisik, itu hanya sebentar, kalau dana sudah ada. Tapi kalau membangun kembali mental yang agar orang hidup berdampingan lagi dan mengembalikan kembali kehidupan yang sudah hancur, ini butuh waktu yang sangat lama. Dan ini terlalu susah jika dibandingkan dengan membangun pusat-pusat perekonomian, fasilitas perkantoran.

Adakah koordinasi dengan provinsi lain untuk membantu pengungsi Maluku? 
Prinsipnya, ini tugas Pemerintah daerah. Pemerintah daerah dibantu oleh Pemerintah pusat dan LSM-LSM. Kalau mereka (pengungsi) keluar, seharusnya melapor ke kami. Selama ini tidak ada yang melapor. Setelah ada hambatan baru mereka lapor. Seperti yang baru saja terjadi di Papua itu, sehingga nasib mereka terkatung-katung. Itu sudah kami koordinasikan untuk pengembalian mereka. Saya mendapat laporan, ada sekitar 3.000 pengungsi akan keluar dari Papua menuju Maluku Tenggara.

* Sumber: Tempo on-line.