Penghakiman Massa "Killing Field" di Jabotabek

KETIKA terjadi pengeroyokan atas tersangka pelaku kejahatan, sikap pembelaan kepada tersangka bisa berakibat fatal. 
Pernah terjadi, seorang polisi berpakaian preman berusaha menghentikan aksi pengeroyokan itu. Dia melepaskan tembakan peringatan. Namun, apa yang terjadi, seseorang kemudian meneriaki polisi itu sebagai kawan dari tersangka yang tengah dikeroyok. Akibatnya, polisi naas itu pun dikeroyok beramai-ramai, meski ia berusaha menjelaskan bahwa dirinya adalah polisi.

Bahkan tidak jarang tersangka yang sudah diamankan di kantor polisi atau pos polisi pun diseret keluar dan kemudian dikeroyok beramai-ramai hingga tewas. Yang terjadi di Pondokgede, beberapa waktu lalu, empat orang tersangka sudah dinaikkan ke mobil patroli, tetapi massa kemudian menyeret mereka, menganiaya dan membakarnya.

"Biar saja, biar kapok," kata seorang warga yang ditemui Kompas tak lama setelah peristiwa pembakaran. Demikian juga sejumlah warga di Jalan TB Simatupang dua jam setelah pengeroyokan disertai pembakaran lima orang tersangka penodong, (Kompas, 11/6). "Biar teman-temannya kapok," kata seorang warga.

"Kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar dan kembali nodong," kata yang lain. Kepercayaan kepada aparat penegak hukum memang sedang berada pada titik terendah.
***
HARIAN Kompas selama kurun waktu 18 bulan (1999-Mei 2000) memuat 46 peristiwa kekerasan dengan korban tewas dikeroyok dan dibakar massa. Angka ini hanya untuk wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek, termasuk Depok) dengan jumlah mereka yang telah menjadi korban mencapai 56 orang. 

Di dasawarsa 1990-an, berita mengenai perilaku sadis ini, bisa dikatakan tidak banyak. Memang, sejak tahun 1991 koran ini sudah memberitakan, misalnya, nasib yang menimpa Suma (35) penduduk Desa Cibeuning, Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor. Ia tewas dihakimi massa (19/3/1991) karena difitnah mencuri ikan di kolam ikan milik warga. Namun, berita semacam itu tidak banyak ditemui, apalagi korban sampai dibakar hidup-hidup oleh massa.

Lalu, potensi kekerasan apa gerangan yang dikandung masyarakat Jabotabek? Berdasarkan statistik kejadian, 
potensi kekerasan ini paling dominan terjadi di belahan barat Jakarta. Tangerang menjadi daerah paling potensial dengan 14 kali peristiwa pengeroyokan massa hingga tewas. 

Sementara Bekasi, daerah di sebelah timur Jakarta, "hanya" mencatat 10 kali peristiwa. Begitu pula dengan DKI Jakarta. Wilayah Jakarta Barat mencatat enam kali peristiwa, sementara Jakarta Timur empat peristiwa. Ini berarti, masyarakat kawasan barat Jakarta lebih "tega" terhadap tersangka pelaku kejahatan. Sudah 20 kasus korban tewas terjadi di daerah ini, dibandingkan kawasan timur 14 kasus. Begitu pula dengan korban yang tewas dibakar massa. Belahan barat mencatat delapan kasus, sementara wilayah timur lima kasus.

Bicara soal tega dan tidak tega, wilayah Jakarta Barat mungkin bisa disebut sebagai wilayah paling tega. Dari enam kasus yang terjadi, empat kasus di antaranya berakhir dengan korban dibakar hidup-hidup! Secara keseluruhan, dari 46 kasus korban tewas selama 18 bulan ini, 33 persen di antaranya meninggalkan korban dalam keadaan tewas dibakar.

Jabotabek dengan karakter masyarakat seperti ini, menjadi pembunuh berdarah dingin terhadap tersangka 
pelaku kejahatan, tidakkah lalu menjadi pemicu bagi daerah lain untuk meniru? Entahlah. Yang jelas, hingga saat ini, perilaku sadis bukan eksklusif watak masyarakat Jabotabek saja. Ambil contoh kasus Indramayu di Jawa Barat. Selama tiga bulan (Desember 1999-Februari 2000) sudah ada empat kasus pencurian motor yang tersangka pelakunya mati di tangan massa dalam keadaan gosong karena dibakar. Modus operandi kekerasan massa seperti ini juga pernah tercatat di Brebes. Seorang tersangka pelaku kejahatan dibulan-bulani massa dan dibakar di Desa Krasak, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, tanggal 14 Oktober 1999. 

Mungkin kasus sejenis yang terjadi di Cilacap, Jawa Tengah, bisa menjadi bahan permenungan yang lebih dalam. Media massa mencatat selama kurun waktu lima bulan (November 1999-Maret 2000) ada 13 kasus tersangka pelaku kejahatan yang tewas dihakimi massa. Dan sembilan kasus di antaranya berakhir dengan dibakarnya tubuh korban! Salah seorang di antaranya adalah Sukardi. Tersangka pencurian sepeda motor di Kecamatan Kawunganten ini di keluarkan secara paksa oleh massa dari ruang tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Kawunganten, untuk dibakar hidup-hidup (11/ 11/1999). Begitu pula nasib naas yang sama menimpa Karsino (22) 
yang mencuri lima ekor ayam dan 15 kilogram beras, serta Kasim (33) yang mencuri seekor ayam. 
Keduanya menemui ajal dibakar sesamanya.

Kembali ke Jabotabek, sebagian besar kasus tindak kekerasan massa ini dipicu oleh pencurian sepeda motor (34 persen). Juga ada tindak kejahatan pencurian mobil. Namun, tidak sedikit yang pemicunya justru hal-hal sepele, mulai dari maling ayam, maling timbangan, pencurian cabai rawit, sampai maling piring dan rantang. Susah sekali akal sehat mencerna, hal-hal kecil ini justru menjadi awal terhadap penghilangan nyawa manusia secara tidak beradab.

Di antara berbagai kasus yang menjadi pemicu tersebut, mungkin kasus Husen Dalimunte (19) bisa menjadi titik awal permenungan. Hanya karena diteriaki maling oleh sekelompok pemuda, Husen menemui ajalnya (16/1/2000) karena dikeroyok warga sekitar stasiun Kereta Api Pasarminggu, Jakarta Selatan. 
***
PIHAK Kepolisian RI bukannya tak gusar menghadapi situasi massa yang demikian anarkis itu. Baiklah, mereka telah melakukan banyak "noda" pada masa lalu saat menangani kasus-kasus hukum. Namun, kini ketika polisi berniat menegakkan hukum ternyata bukan persoalan mudah.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya Mayjen (Pol) Nurfaizi mengakui, pada kenyataannya di lapangan polisi justru mengalami hambatan saat akan menegakkan hukum. "Ketika kita tangkap seorang pelaku kejahatan dan akan memproses hukumnya massa malah memaksa kami melepasnya untuk mereka adili," katanya. Padahal di lokasi kejadian seringkali hanya ada satu-dua orang polisi. Apa daya menghadapi ratusan orang yang dengan beringas siap mengeroyok pelaku kejahatan. "Begitu pula, saat seorang tersangka pelaku tindak pidana dibawa ke markas polisi, mereka malah menyerbu markas kita," kata Nurfaizi. Kejadian seperti itu berulang kali terjadi.

Namun, anarkisme massa dengan segala ke-barbar-annya tentu saja harus dihentikan. Untuk itu itu harus ada yang memulai. Salah satu caranya pemerintah dan para penegak hukumnya harus membuktikan diri bahwa mereka menegakkan hukum dengan benar. Masyarakat sudah terlalu pintar untuk mengetahui bahwa penegakan hukum itu bukan sekadar pidato atau seremonial belaka. (SUMBER kOMPAS Jumat, 16 Juni 2000) F Harianto Santoso/M Suprihadi)