'Memoricide' Peristiwa 1965 
Muhammad Qodari *) 

BELUM lama ini, peneliti LIPI Hermawan Sulistyo menerbitkan disertasi doktornya di Arizona State University, AS. 
Buku berjudul Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966) itu membahas 
peristiwa pembunuhan massal orang-orang yang menjadi--atau dianggap menjadi--aktivis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi onderbouw-nya. Inilah satu-satunya buku berbahasa Indonesia yang membahas detail peristiwa pembantaian pasca-G30S yang disebut-sebut salah satu genocide terbesar abad ke-20. 

Yang mengherankan, mengapa peristiwa pembunuhan yang sedemikian kejam dan masif--angka korban bervariasi: mulai dari 78 ribu sampai 2 juta, tapi jumlah yang diterima adalah 500 ribu hingga 600 ribu jiwa--seakan-akan tak berbekas dari ingatan masyarakat Indonesia. Orang berpendapat, hal ini disebabkan propaganda Orde Baru yang merekayasa monoversi peristiwa G30S. 

Saya melihat, fenomena "memoricide"--penggerusan ingatan--atas pembantaian ini berhubungan erat dengan 
penolakan masyarakat terhadap usul Presiden Abdurrahman Wahid untuk mencabut Tap MPRS Nomor XXV/1966. 
Sikap masyarakat yang paralel dengan propaganda peristiwa 1965 versi Orde Baru ini sebuah "anomali" reformasi. 
Sebuah paradoks lantaran selama dua tahun terakhir ini hampir seluruh lapisan masyarakat ikut terlibat dalam 
aksi "dekonstruksi" dan "delegitimasi" terhadap berbagai wacana yang dianggap pernah digunakan oleh Orde Baru 
untuk melanggengkan kekuasaannya. 

Paradoks ini menunjukkan kelemahan teori propaganda Orde Baru dalam analisis peristiwa 1965. Menurut saya, ortodoksi sikap masyarakat tersebut berasal dari mekanisme seleksi yang beroperasi dalam diri mereka sendiri, suatu kerangka tafsir yang dalam psikologi politik disebut "Memori Kolektif" atau "Ingatan Masyarakat" (Pennebaker, Paez, & Rime, 1997). 

Seperti peristiwa besar di mana pun, sesungguhnya terdapat banyak versi tentang apa yang betul-betul terjadi dalam peristiwa tersebut. Seleksi memori dalam masyarakat yang mengalami peristiwa bersejarah--yang biasanya traumatik itu--membuat hanya tafsir tertentu yang diingat dan dikenang oleh mayoritas masyarakat tersebut. Akan tetapi mengapa dalam konteks peristiwa 1965 masyarakat Indonesia hanya mengingat satu versi teori, yang entah mengapa paralel dengan teori yang dikembangkan Orde Baru selama 30 tahun terakhir ini? 

Pertama-tama perlu dipahami bahwa suatu masyarakat diikat oleh seperangkat ingatan yang menjadi perekat bagi identitas individual dengan kelompok tempat mereka bergabung. Ingatan itu ada yang obyektif, ada pula yang palsu. Ingatan yang palsu dapat menjadi dominan bila tidak semua fakta sejarah yang obyektif dan relevan dapat memuaskan identitas kolektif suatu masyarakat tertentu. Sebagaimana individu, kelompok juga ingin mempertahankan citra yang positif tentang mereka. Citra negatif akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman, bahkan perasaan berdosa. Bila perlu, masyarakat mampu menipu dirinya sendiri. 

Penghilangan dengan sengaja ( selective omission ), misalnya, merupakan teknik manipulasi memori kolektif paling mudah untuk pengalaman sejarah yang tidak mengenakkan. Bila kelompok telah berhasil mengeliminasi ingatan-ingatan yang buruk, diharapkan ingatan serba positiflah yang tinggal, sehingga dapat dijadikan landasan bagi citra diri kelompok yang baik. 

Dalam peristiwa 1965, kalangan NU--dan kalangan Islam pada umumnya--bisa disebut sebagai kelompok masyarakat yang melakukan penghilangan sengaja atas memori kolektif mereka. Kelompok NU dan Islam, 
seperti dicatat oleh Hermawan Sulistyo dalam bukunya, merupakan kelompok yang paling banyak terlibat 
dalam pembantaian anggota PKI dan underbouw-nya. Abdurrahman Wahid sendiri, selaku pemimpin NU, 
memperkirakan ada sekitar 500 ribu eks PKI yang dibunuh oleh kelompok-kelompok Islam ( Editor, 4 September 1993). 

Komplemen logis dari strategi untuk penyangkal fakta yang benar-benar terjadi adalah dengan merekayasa suatu hal yang tidak pernah terjadi. Tentu tidak mungkin semua fakta sejarah direkayasa secara total, walau dalam praktek politik hal ini bukan mustahil dilakukan. Sebuah rangkaian peristiwa yang kecil tapi penting bisa mengakibatkan pengaruh yang besar terhadap tafsir peristiwa secara keseluruhan. 

Mungkin tak ada rekayasa yang lebih berhasil untuk menanamkan kebencian masyarakat selain pencitraan Gerwani--organisasi perempuan PKI. Menurut penelitian Saskia Eleonora Wieringa (lihat Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , Garba Budaya, Jakarta, 1999), semenjak berdirinya, militansi Gerwani yang mengedepankan emansipasi wanita memang mengguncang sistem nilai pada masa itu. Terlebih lagi setelah peristiwa 30 September 1965, citra anggota Gerwani dimanipulasi sebagai "pelacur bejat moral" yang mempraktekkan seks bebas dengan Pemuda Rakyat, yang benar-benar efektif karena kampanye ini memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa--khususnya kaum adat dan agama. 

Hipotesis Banasik dan Pennerbaker (dalam ibid ), apa yang disebut memori kolektif itu sesungguhnya tak lebih dari cohort memory atau ingatan generasional belaka. Penelitian Schuman dan Scott (1989)--yang dikutip Banasik dan Pennerbaker--menemukan bahwa orang-orang dari berbagai usia cenderung untuk mengingat momen-momen historis yang terjadi ketika mereka berusia belasan sampai dua puluhan tahun. Kecenderungan ini disebabkan oleh dominannya proses pembentukan identitas dan resepsi memori. Pengalaman-pengalaman emosional dan fisiologis begitu impresif dalam rentang usia di atas. 

Saya kira, temuan riset ini sangat besar implikasinya dalam memahami kontroversi sejarah seperti peristiwa 1965. Kenyataan bahwa masyarakat cenderung menolak gagasan Gus Dur mengingatkan kita bahwa banyak tokoh masyarakat "pendefinisi" situasi yang menguasai pembentukan opini publik sekarang ini masih berusia muda ketika PKI berbenturan dengan lawan-lawan politiknya. 

Bila hipotesis cohort memory ini diterima, argumentasi tokoh-tokoh penolak gagasan Gus Dur bahwa generasi muda mau mempelajari dan hidup berdampingan dengan ideologi komunisme/Marxisme-Leninisme lantaran mereka tidak mengalami kekejaman orang-orang PKI, harus gugur. Saya berpendapat, generasi muda adalah generasi yang berhak hidup dan mendefinisikan masa depannya tanpa dibebani oleh ingatan-ingatan "traumatik" yang ditentukan oleh generasi sebelumnya. Apalagi ingatan generasional itu tidak steril dari distorsi dan manipulasi--History defines us just as we define history. 

*) Peminat psikologi politik, alumni Psikologi UI (Kolom ini dikutip dari Majalah TEMPO edisi 2-8 Oktober 2000)