diambil dari Kompas, Kamis, 28 September 2000
Euthanasia: Perdebatan yang Berkepanjangan
Oleh K Bertens

EUTHANASIA merupakan salah satu masalah etika yang paling berat dalam zaman kita dan tampaknya dalam waktu singkat tidak mungkin diselesaikan. Istilah "euthanasia" berasal dari bahasa Yunani: eu (=baik) dan thanatos (=kematian), sehingga dari segi asalnya berarti "kematian yang baik" atau "mati dengan baik". 

Jika kini kita berbicara tentang euthanasia, yang dimaksudkan dokter mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan memberikan suntikan yang mematikan atas permintaan pasien sendiri. Sekitar dua puluh tahun lalu tindakan medis ini disebut "euthanasia aktif", untuk membedakan dari "euthanasia pasif". 

Dengan istilah terakhir ini dimaksudkan keputusan medis untuk tidak memberikan pengobatan kepada pasien terminal seperti, misalnya, memasukkannya dalam Unit Perawatan Intensif dan memasang alat-alat canggih serupa ventilator dan respirator, atau menghentikan sama sekali pengobatan semacam itu, jika sudah dimulai.
Kini istilah "euthanasia pasif" tidak dipakai lagi dan sebaiknya begitu, karena kualitas etisnya amat berbeda dengan tindakan mengakhiri kehidupan pasien terminal. 

"Euthanasia pasif" biasanya diganti dengan sebutan "membiarkan pasien meninggal" (letting die). Jika pasien sudah tidak ada harapan lagi, tentu dokter tidak wajib memasukkannya ke dalam Unit Perawatan Intensif dan boleh saja menghentikan alat bantu hidup, jika pemakaiannya tidak bisa membawa penyembuhan lagi. Ketika teknologi medis yang canggih itu baru mulai dipakai, sering timbul keraguan pada profesi medis. Mereka tanyakan apakah dokter tidak membunuh pasien dengan menghentikan alat-alat bantu hidup. 

Kasus Karen A Quinlan yang berlangsung di New Jersey, AS, sekitar tahun 1975, masih mengumandangkan keraguan itu. Kini sudah terbentuk keyakinan, dari segi etika tidak ada masalah, jika dokter melepaskan 
alat-alat bantu hidup dari pasien yang tidak tertolong lagi. Pasien itu tetap meninggal karena penyakitnya, bukan karena pernapasan artifisial dihentikan. 

Jika pasien sudah betul-betul terminal, dalam arti tidak bisa disembuhkan dan tidak lama lagi akan meninggal, memakai alat-alat itu terus hanya akan memperpanjang penderitaannya. Dalam keadaan itu, dari segi etika tidak ada keberatan untuk menghentikan alat-alat bantu hidup, meski hal itu sering terbentur alasan-alasan 
psikologis, terutama dari pihak keluarga. Keluarga sering belum siap melepas orang sakit yang tercinta. Mereka seolah-olah tidak mau percaya, kondisinya sudah terminal.

Dengan penuh harapan, mereka berpegang pada sedikit tanda-tanda kehidupan yang masih tertinggal. Sikap keluarga pasien itu dapat menimbulkan kesulitan baru untuk profesi medis, tetapi keputusan untuk menghentikan pengobatan yang tidak berguna lagi sebaiknya tidak disebut euthanasia.

Dalam konteks itu akhir-akhir ini banyak terdengar sebutan lain, assisted suicide atau "bunuh-diri yang dibantu dokter". Maksudnya, dokter membantu pasien terminal untuk membunuh dirinya, jika ia memilih mengakhiri penderitaannya. Hal itu biasanya dilakukan dengan menulis resep untuk obat yang mematikan dalam dosis besar. Perbedaan dengan euthanasia adalah, pasien terminal membunuh dirinya, ia tidak "dibunuh" oleh dokternya. Karena alasan itu secara psikologis bunuh diri berbantuan barangkali tidak begitu membebankan hati nurani 
profesi medis ketimbang euthanasia langsung, tetapi secara etis tidak banyak perbedaan. Dalam hal euthanasia maupun bunuh-diri berbantuan, dokter adalah pelaku utama untuk akibat yang sama. Bagi pasien terminal, bunuh-diri berbantuan mempunyai konsekuensi bahwa kemungkinannya cukup terbatas. Sebab, banyak pasien terminal tidak sanggup lagi meminum obat atau melakukan tindakan lain yang perlu untuk mengakhiri hidupnya.

Pro dan kontra
Sejak beberapa dekade terakhir ini, masalah euthanasia dan bunuh diri berbantuan ramai didiskusikan. Diajukan segala macam argumen pro dan kontra. Argumen-argumen yang menolak antara lain berasal dari agama. Tidak ada satu agama pun yang dapat mengizinkan euthanasia dan bunuh-diri berbantuan.

Menurut agama, Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk unik dan hanya Tuhan yang berhak memanggilnya kembali, bila tiba saatnya. Di sini tampak perbedaan besar antara manusia dan binatang. Bila seekor binatang ditemukan dalam keadaan sekarat, kita tidak keberatan membunuhnya untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi manusia tidak pantas diperlakukan dengan cara demikian. Kita harus merawatnya dengan sebaik-baiknya sampai saat terakhir. Saat kematiannya kita serahkan kepada Tuhan.

Keberatan juga dikemukakan profesi medis. Organisasi para dokter di seluruh dunia cenderung menentang euthanasia. Meski kadang-kadang beberapa dokter secara individual menjadi pendukung euthanasia, 
organisasi para dokter umumnya menolak tegas. Dokter yang membunuh pasien-meski dengan alasan "belaskasihan"-dilihat sebagai semacam kontradiksi. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan 
meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.

Banyak pakar etika turut menolak euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Salah satu argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian dalam larangan membunuh-mereka tegaskan -sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, lanjut usia, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Akhirnya kita akan sampai pada keadaan yang terwujud waktu nasional-sosialisme Hitler atau lebih jelek lagi. Namun, di kalangan etikawan, tidak sedikit yang mendukung diberlakukannya euthanasia. Argumentasi yang paling banyak didengar adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri berbantuan hanya 
sekadar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan "kematian yang baik", tanpa penderitaan yang tidak perlu.

Hukum
Di beberapa tempat sudah pernah diadakan jajak pendapat bahkan referendum untuk mengetahui pendapat masyarakat dalam hal euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Tetapi kalaupun mayoritas masyarakat 
menyetujui, dengan itu masalahnya belum selesai, karena menurut hukum di hampir semua negara euthanasia dan bunuh diri berbantuan tergolong tindakan kriminal menurut ukuran Kitab Hukum Pidana. Yang menarik adalah, selama beberapa tahun terakhir ini, di bidang hukum terjadi terobosan. Beberapa negara sudah memodifikasi hukumnya agar euthanasia atau bunuh diri berbantuan diperbolehkan dan lebih banyak negara lagi sedang mengadakan percobaan ke arah itu.

Belanda adalah negara pertama yang memungkinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Tetapi perlu ditekankan, dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih 
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Hanya saja, kalau beberapa syarat dipenuhi, dokter yang melakukan tidak akan dituntut di pengadilan. Tindakannya akan dianggap sebagai force majeure atau "keadaan terpaksa", di mana hukum tidak bisa dipenuhi. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter 
untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya.Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 
Northern Territory menerima UU yang disebut Right of the terminally ill bill (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

Saat ini satu-satunya tempat di mana hukum secara eksplisit mengizinkan pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian AS, Oregon. Tahun 1997 Oregon melegalisasikan kemungkinan ini dengan memberlakukan The death with dignity act (UU tentang kematian yang pantas). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia seperti dimengerti dalam tulisan ini. Syarat-syarat cukup ketat. Pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan 
meninggal dalam enam bulan. Sampai tiga kali pasien harus mengungkapkan keinginannya untuk itu: dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri saksi). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis sisa hidup enam bulan serta memastikan 
kebebasan pasien dalam mengambil keputusan itu. Dokter pertama harus menginformasikan lagi pasien tentang kemungkinan medis lain yang tersedia pada akhir kehidupan (seperti perawatan palitatif, hospite care, penanganan nyeri) dan menjelaskan risiko serta akibat dari meminum obat letal dalam dosis tersebut. Baru sesudah semua syarat ini terpenuhi dokter boleh menulis resepnya.

Belum jelas entah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999 (The New 
England Journal of Medicine, 24-2-2000). 

Sepanjang tahun itu 33 pasien menerima resep obat letal, 26 di antaranya meninggal karena meminum obat itu. Satu pasien meninggal lagi karena obat yang diperoleh tahun sebelumnya, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 27 (tahun 1998 baru 16). Itu berarti, selama tahun 1999, sembilan per 10.000 kematian di Oregon berlangsung 
karena bunuh diri berbantuan. Usia para pasien ini rata-rata 71 tahun. 

Dari 27 pasien ini paling banyak (17 orang) mengidap kanker. Semua 27 pasien mempunyai asuransi kesehatan, 21 mendapat hospite care, dan 13 memiliki ijazah setingkat college. Dengan demikian terjawab sebagian kritik yang meramalkan UU Oregon akan dimanfaatkan pasien terminal yang tidak bisa membayar pengobatan, oleh mereka yang tidak diberi perawatan palitatif dan mereka yang berpendidikan rendah. Di Indonesia seruan akan legalisasi euthanasia dan/atau bunuh diri berbantuan belum terdengar lantang. Mungkin, Menteri Negara Urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh perhatian kepada "hak untuk mati". Tetapi tidak mungkin diragukan, perawatan pasien terminal juga merupakan suatu masalah medis yang mahapenting di Tanah Air kita. 

Jika pasien sudah tidak bisa disembuhkan, profesi medis tidak boleh lepas tangan. Perawatan palitatif yang sebaik mungkin harus diupayakan, agar pasien terminal dapat meninggal dengan pantas dan tanpa penderitaan berlebihan. Meski meninggal dengan pantas (to die with dignity) tak perlu dimengerti seperti di Oregon. 

* K Bertens, staf Pusat Pengembangan Etika, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta.