diambil dari kompas, Sabtu, 18 Januari 1997
Manusia Modern Saat Meninggal Kesakitan
Philadelphia, Jumat

Rasa sakit hebat dan penderitaan sering kali dirasakan pada akhir hidup masyarakat di zaman modern ini. Demikian kesimpulakn penelitian di Amerika Serikat yang dipublikasikan hari Selasa (14/1) dalam jurnal Annals of Internal Medicine.

"Studi ini mendukung ketakutan yang dipercaya umum bahwa kematian sering kali sulit dan tidak layak," kata penulis utama laporan itu, dr Joanne Lynn dari Pusat Medis Universitas George Washington. Selain itu hasil penelitian tersebut bisa menambahkan bahan baru perdebatan mengenai "hak untuk mati" dan bunuh diri yang dibantu oleh seorang dokter atau euthanasia.

Hasil studi itu melaporkan 40 persen dari 3.000 penderita penyakit serius atau orang tua yang dipantau dalam studi itu mengalami rasa sakit hebat pada tiga hari terakhir hidup mereka.Kesulitan menghadapi persoalan emosi dan fisik umumnya mengiringi pasien pada hari-hari terakhir mereka, dan kurang dari separuh pasien meninggal tanpa usaha akhir untuk memperpanjang hidup mereka.

"Jelas banyak yang bisa dilakukan untuk meringankan rasa sakit pasien saat-saat akan meninggal sehingga jauh lebih baik, mengurangi isolasi, dan mengikuti keinginan pasien di akhir hayatnya," kata Lynn.

Berubah
Studi itu kebalikan dengan studi sejenis terakhir 90 tahun lalu di Rumah Sakit Johns Hopkins yang menyimpulkan proses menghadapi kematian kebanyakan berlangsung cepat dan penuh kedamaian. "Untuk kebanyakan orang...seperti kelahiran, menghadapi kematian mereka tidur dan tidak ingat apa-apa," demikian kesimpulan studi 90 tahun lalu itu.

Sekarang, studi terbaru menyimpulkan, "Meninggal menjadi satu proses kemunduran fisik setahap demi setahap, dan batasan antara 'menjadi sakit' dan 'meninggal' yang dulu jelas sekarang kabur." Para peneliti dalam studi itu memantau 9.105 pasien sakit serius dan 1.176 orang berumur lebih dari 80 tahun, antara tahun 1989 sampai 1994. Mereka mewawancarai keluarga 3.357 obyek penelitian dari 4.622 yang meninggal dalam periode itu.

Studi itu kemudian menyimpulkan kebanyakan pasien, 59 persen, menginginkan perawatan sebelum menghadapi kematian diarahkan untuk menyenangkan mereka, sekalipun itu akan memperpendek umur mereka.
Hampir tiga per empat pasien yang meninggal itu mengalami kesulitan menghadapi sakit fisik ringan seperti napas pendek-pendek, kelelahan atau mual, dan hampir dua per tiganya (62 persen) mengalami gangguan emosional seperti gelisah atau sedih.

Tetapi hanya satu di antara 10 pasien menerima perawatan yang kebalikan dari yang mereka harapkan. Kurang dari separuh (44 persen) dari seluruh pasien ketika meninggal tidak menggunakan alat bantu napas atau infus makanan atau usaha bantuan pernapasan.

Laporan itu juga mengungkapkan perubahan perlakuan pada orang sekarat tidak akan terjadi jika kualitas pelayanan tidak dievaluasi dan masyarakat atau mereka yang membayar untuk pelayanan kesehatan tidak meminta perubahan.

Pekan lalu, ketika Mahkamah Agung AS mempelajari persoalan euthanasia yang dibantu dokter, menurut pendapat Lynn, bunuh diri seperti itu tidak akan menjadi persoalan jika masyarakat Amerika bersedia memelihara mereka yang sekarat.

Editorial pendamping laporan studi itu berpendapat gerakan "hak untuk meninggal" sebagian dipacu oleh ketakutan teknologi medis bisa menyebabkan manusia kehilangan hak mengendalikan hidup mereka dan menyebabkan mereka mengalami "kesepian dan kematian impersonal."

"Masyarakat kita belum bisa menerima bahwa kematian ti-dak bisa dielakkan. Kita harus mengubah sikap dan menerima kematian sebagai fenomena alam. Kita harus menyiapkan pasien kita dengan kematian yang damai dan berharga, tanpa kesakitan dan dengan sedikit mungkin rasa sedih mendalam dan kegelisahan," demikian anjuran editorial pendamping. (Rtr/sur)