Momentum Perdamaian
Lambang Trijono
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM

Upaya menuju perdamaian di zona konflik terpanas (the hot spots) seperti di Maluku, Aceh, dan Papua kini kembali menemukan momentumnya. Dalam beberapa pekan terakhir, eskalasi konflik di ketiga daerah tersebut tampak menurun. Di Maluku, setelah darurat sipil diberlakukan, eskalasi konflik mulai menurun di beberapa tempat. Di Aceh, hal itu terjadi setelah memasuki masa jeda kemanusiaan. Di Papua, aktivitas gerakan Papua Merdeka mulai menurun setelah Gus Dur merespon mereka secara tidak konfrontatif. Bersamaan dengan menurunnya eskalasi konflik, masyarakat sipil di Aceh, Maluku, dan Papua kini mulai menggeliat bangkit. Aktivitas sosial-ekonomi mulai normal. Selain itu, ketika kelompok garis keras yang aktif berkonflik mulai menarik diri keluar dari zona konflik, kelompok moderat/garis lunak kembali mulai angkat bicara soal "perdamaian", meski kekuatan ke ah kembali berbalik menuju konflik kekerasan. 

Respons yang cepat sangat diperlukan. Soalnya, meski terjadi perbaikan, sekarang ini sebenarnya situasi di ketiga daerah konflik tersebut masih serba tidak pasti, alias macet (deadlock). Konflik tidak meningkat, damai pun tidak. Di Aceh, misalnya, jeda kemanusiaan belum disusul aksi diplomasi lanjutan. Di Maluku, darurat sipil belum ditindaklanjuti dengan dialog antarkomunitas berkonflik. Di Papua, melunaknya sikap gerakan Papua Merdeka belum 
disusul sikap proaktif pemerintah melakukan diplomasi. Dalam situasi demikian, bila tidak ada tindakan proaktif dari 
pemerintah yang memberi harapan perdamaian, dikhawatirkan konflik akan terus terkatung-katung dan bisa kembali terjebak dalam siklus kekerasan. Seperti yang terjadi selama ini di Aceh dan Maluku. Ketika warga tidak punya alternatif lagi untuk keluar dari situasi konflik, maka kembali berperang agar tetap eksis menjadi satu-satunya pilihan, meskipun terjebak dalam kerugian/kehancuran bersama. 

Menghadapi situasi demikian, seharusnya kabinet baru Gus Dur, khususnya Menko Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan (Polsoskam), segera mengambil langkah proaktif melakukan upaya perdamaian. Hal itu dimaksudkan terutama untuk memecah kebekuan dan kemacetan. Salah satu cara yang perlu diperhitungkan adalah mendorong 
bergulirnya aktivitas perdamaian dengan menggunakan banyak jalur resolusi konflik (multitracks conflict resolution); baik jalur  pemerintah (jalur I) maupun jalur masyarakat sipil (jalur II). Kedua jalur itu sama-sama penting karena keduanya mempunyai keunggulan dan kelemahan. 

Pada jalur I perlu diambil resolusi konflik dalam bentuk, terutama, diplomasi dan intervensi. Salah satu kelebihan yang dimiliki pemerintah dibanding lembaga-lembaga lain untuk resolusi konflik adalah dalam hal kemampuan intervensinya. Pemerintah relatif punya sumber daya politik/kekuasaan dan ekonomi lebih besar dibanding lembaga apa pun di dalam negeri. Jika intervensi itu dilakukan dengan pendekatan tepat didukung oleh lembaga-lembaga perdamaian yang memadai, hal itu akan banyak membantu penyelesaian konflik. Hal itu, terutama, terhadap soal-soal yang bermuatan politik tinggi seperti soal proses hukum terhadap pelanggaran HAM, keterlibatan TNI/Polri, dan soal separasi atau pemisahan dengan Republik Indonesia. 

Sementara itu, dalam jalur II, model resolusi konflik yang cocok adalah memfasilitasi negosiasi dan dialog-dialog informal di antara warga. Model itu memiliki keunggulan tersendiri dibanding cara dalam jalur I: relatif tidak formal, fleksibel, dan bisa menggunakan berbagai bentuk aktivitas perdamaian (peace activities) dengan memperhatikan potensi yang ada di masyarakat. Karena itu, sebenarnya jalur II jauh lebih kaya dalam hal aktivitas dan kreativitas 
dibanding jalur I; bisa menggunakan berbagai jenis aktivitas seperti bisnis, pendidikan, lingkungan hidup, kesenian, media, olah raga, dan kesehatan, untuk kegiatan perdamaian. 

Strategi demikian lebih memberi harapan terjadinya transformasi konflik yang cepat dan luas di berbagai lapisan sosial karena bersifat excellent; tidak mengalahkan tapi bisa mengubah pemikiran lawan; tidak bersifat antagonistik, tapi bisa menurunkan konflik; dan lebih mengarah ke penyelesaian yang positive sum-game atau 
win-win solution daripada win-lose solution.

Sumber Forum online