Ornop Bentuk Komisi Kebenaran dan Keadilan
Rabu, 4 Oktober 2000
Jakarta, Kompas 
Sebelas organisasi nonpemerintah (Ornop) mengambil langkah proaktif dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Keadilan. Komisi yang akan memusatkan kegiatannya pada penyelidikan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan kemudian mengolahnya hingga kasus itu bisa diproses secara hukum dihadirkan untuk mendorong hadirnya Komisi Kebenaran resmi yang kini masih diperdebatan di tingkat pemerintah. Hal itu disampaikan juru bicara Presidium Komisi Kebenaran dan Keadilan, Robertus Robet, saat mengumumkan pendeklarasian Komisi tersebut di Jakarta, Selasa (3/10). Kesebelas Ornop yang membentuk Komisi tersebut adalah Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Gerakan Sarjana Jakarta (GSJ), Yayasan Jurnalis 
Indonesia (YJI), Iluni UI Jakarta, Pemuda Sosialis Jakarta (PSJ), Indonesian Corruption Watch (ICW), Pergerakan Demokrasi Sosial (PDS), dan Lapeksdam Nahdlatul Ulama. 

Robet menjelaskan, Komisi akan memusatkan kegiatannya pada pembongkaran, baik secara legal maupun politik, terhadap seluruh kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi. "Kami sendiri sudah menyiapkan sejumlah kasus yang hampir matang, untuk dipersiapkan membawa bukan hanya mantan Presiden Soeharto tetapi juga aparat pemerintahan lainnya yang terlibat dalam sejumlah tragedi kemanusiaan belakangan ini. Soeharto hanya salah satu saja sebagai jalan masuk kita untuk mulai bekerja," ungkapnya sambil menambahkan dua kasus yang hampir matang itu adalah kasus Penembakan Misterius tahun 1983-1984 dan kasus 27 Juli.

Komisi ini dimunculkan sekarang, menurut Robet, untuk mengkonfrontir gagasan rekonsiliasi yang akhir-akhir ini dimunculkan dengan gencar di tengah publik. "Komisi berpandangan bahwa rekonsiliasi tanpa didahului kerja pengungkapan kebenaran dan keadilan maka akan menjadi suatu bentuk pengelabuan terhadap korban. Karena itu, kami menekankan pentingnya pengungkapan kebenaran terlebih dulu. Kedua, dalam konteks Indonesia kami menilai kurang tepat jika mengedepankan kerja rekonsiliasi, karena kasus kejahatan kemanusiaan di Indonesia 
lebih state violence. Sedangkan rekonsiliasi lebih bermanfaat untuk kasus seperti kalau ada pemberontakan daerah atau pengkhianatan politik," jelasnya.

Kasus Soeharto
Pada pendeklarasian tersebut Komisi Kebenaran dan Keadilan juga menyampaikan pernyataan sikap pertama mereka mengenai berbagai perkembangan kondisi sosial-politik akhir-akhir ini. Komisi mengajak masyarakat untuk melihat fakta yang benar bahwa kegagalan penuntasan kasus dugaan KKN Soeharto itu disebabkan karena yang bersangkutan dinilai tidak bisa dihadirkan di pengadilan karena sakit, bukan karena Soeharto dinyatakan tidak bersalah. Dengan demikian, kenihilan dari peradilan itu tidak serta merta menghapuskan kejahatannya.

"Kontroversi penuntasan kasus Soeharto yang berlarut-larut disebabkan oleh karena tidak adanya keberanian politik, baik dari parlemen dan MPR maupun dari pemerintahan pasca Soeharto, untuk secara tegas menyatakan bahwa Soeharto telah pernah bertindak tidak benar selama menjalankan kekuasaannya," papar Robet. 
Oleh karena itulah, Komisi Kebenaran dan Keadilan menuntut agar MPR melakukan pencabutan seluruh Tap MPR yang menerima pidato pertanggungjawaban Soeharto. Oleh karena, masih lestarinya Tap-Tap tersebut menandakan bahwa secara institusional MPR dan DPR telah meneruskan ironi politik dengan masih membenarkan perbuatan kejahatan Soeharto dalam kasus Pembunuhan Misterius sepanjang 1983, Tanjung Priok 1984, 27 Juli 1996, penghilangan aktivis 1997. (oki)