'Penghilangan Paksa' dan Penculikan
Mulyana W. Kusumah *)
PADA 1980, Komisi Hak Asasi Manusia PBB membentuk Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances. Ini merupakan bagian dari realisasi Resolusi PBB Nomor 33/173, Desember 1978, yang mencerminkan keprihatinan luas masyarakat internasional atas berlangsungnya "penghilangan paksa" (disappearances) di sejumlah negara.
Temuan awal kelompok kerja tersebut, yang dipublikasikan pada 1981, memberikan gambaran
mengerikan tentang kejadian-kejadian penghilangan paksa. Kejadian seperti ini diperkirakan telah menimpa 11
ribu hingga 15 ribu orang dan telah berlangsung di 15 negara, antara lain Argentina,
Bolivia, Brasil, Cile, Siprus, El Salvador, Etiopia, Guatemala, dan Uruguay, termasuk Indonesia.
Pola "penghilangan paksa" sebagai operasionalisasi strategi viktimasi politik
amatlah bervariasi. Hal ini dapat dibedakan berdasarkan hubungannya dengan kebijakan politik pemerintahan yang bersangkutan (di beberapa negara merupakan
bagian dari kebijakan sistemis untuk mencapai kapabilitas represi maksimum dengan pertanggungjawaban minimum, sementara di beberapa negara lainnya
merupakan praktek politik kekerasan terdesentralisasi), target-target politik jangka
pendeknya, serta metode dan kekuatan-kekuatan yang dilibatkan.
Praktek-praktek "penghilangan paksa" sebagai implementasi strategi pengendalian
politik Orde Baru, yang memakan ribuan korban, sudah tercatat dalam daftar sejarah politik kekerasan di Indonesia. Di antara sekian praktek tersebut, baru
sebagian kecil terbongkar, kemudian sedikit di antaranya ditangani secara hukum.
Bentuknya hanyalah sekadar formalitas untuk memenuhi reformasi politik
pasca-rezim Soeharto.
Kasus penghilangan paksa para aktivis prodemokrasi di akhir kekuasaan Soeharto
(Februari-Mei 1998) bukan saja tidak terselesaikan, tapi juga berakhir tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Yang terjadi saat itu adalah sebuah persidangan
militer terhadap 11 anggota Kopassus yang sama sekali tidak menyentuh biang penanggung jawab penghilangan paksa sebagai salah satu metode kerangka
systematic policy untuk melenyapkan lawan-lawan politik.
Kejadian penghilangan paksa masih juga berlangsung di wilayah konflik seperti
Aceh dan besar kemungkinan melebar ke daerah-daerah yang berdekatan. Jafar Siddiq Hamzah, Ketua Indonesia Forum for Aceh (IFA), dikabarkan hilang sejak 5
Agustus 2000 saat melakukan kunjungan ke Medan. Korban diketahui sebagai
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sangat aktif memperjuangkan
hak asasi manusia di Aceh serta tengah mempersiapkan pembentukan Support Committee of Human Rights in
Aceh. Kasus ini adalah satu dari sekian kasus hilangnya tokoh yang berkaitan dengan masalah Aceh, seperti raibnya anggota DPR RI Teungku Nashiruddin Daud. Juru bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Teungku Ismail Syahputra dan penguasa militer setempat menyatakan tidak bertanggung jawab, sementara polisi--sebagaimana biasa--belum dapat menentukan sebab-musabab peristiwa itu.
Penghilangan paksa sebagai jenis kejahatan yang berhubungan dengan negara (state related crimes ) kini tampak diikuti oleh berbagai peristiwa penculikan (kidnapping) dengan latar belakang serta motivasi yang beragam. Kepala
Kepolisian RI Jenderal Rusdihardjo pernah menyatakan, dalam periode Januari-Juni 2000, polisi telah menerima 203 laporan peristiwa penculikan dengan sejumlah
motif nonpolitik yang berbeda-beda.
Penculikan secara teoretis memang berlainan dengan penghilangan paksa. Yang
terakhir ini umumnya menunjukkan tingkat-tingkat keterlibatan aparat negara. Sebagai contoh, Hoesin K.H., wartawan tabloid Menara, Samarinda, pada 3 April
2000 diculik kelompok tak dikenal di Jakarta, disiksa, dianiaya, dan disekap
sampai kemudian dilepas pada 10 April 2000. Kasus ini hampir pasti berkaitan
dengan hasil kerja profesi jurnalisnya yang dimuat di tabloid Menara tentang korupsi dana reboisasi, sementara si pelaku tentu berasal dari pihak yang merasa
terancam oleh tulisan-tulisannya.
Lain halnya peristiwa penculikan empat aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria
(KPA), yakni Usep Setiawan, Idham Kurniawan, Mohammad Hafiz Azdam, serta Anton Sutton. Kasus yang berawal dari protes mogok makan untuk
memperjuangkan hak-hak petani atas tanah di Gedung MPR/DPR itu terjadi pada 14 Agustus 2000. Dan meskipun keempat pemuda itu telah dilepas pada 27
Agustus lalu, perkara ini tampak lebih rumit ditelusuri.
Kejadian itu jelas bukan penculikan kriminal biasa yang motivasinya utang-piutang,
permintaan tebusan, masalah keluarga, atau masalah pribadi lainnya. Latar belakang dan motif penculikan empat aktivis KPA besar kemungkinan tidak dapat
dilepaskan dari situasi politik nasional. Walaupun para korban bergerak di bidang
yang relatif spesifik, yaitu reforma agraria, dilihat dari momentum penculikan serta
modus operandinya, termasuk sumber daya finansial kelompok penculik, terbentang kemungkinan adanya target-target politik lebih luas, lebih dari sekadar
para aktivis reforma agraria.
Yang pasti, para pelaku terlatih untuk menjalankan rangkaian metode penculikan
secara aman, punya kapasitas mengorganisasi kegiatan dengan rapi, dan mampu menghindar dari usaha-usaha pengungkapan yang secara intensif melibatkan
sejumlah kalangan LSM.
Polisi tentu tidak layak mengelak begitu saja dari pertanggungjawaban untuk
menjamin kemerdekaan dan keamanan warga negara, apalagi dengan cara menuduh balik KPA melakukan rekayasa penculikan, sampai menyediakan
lie detector untuk menguji bohong-tidaknya para korban saat memberikan testimoni
kepada polisi. Atau mungkin saja, untuk kasus penculikan yang terakhir ini, kita
akan berhadapan dengan kenyataan yang lain, misalnya dugaan-dugaan polisilah yang benar.
*) Dosen FISIP UI
Sumber: Tempo on-line