Seribu Wajah Kematian

Judul buku: MATINYA SEORANG PENARI TELANJANG
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2000

Sebagian besar dari isi dari buku ini pernah dimuat dalam buku Manusia Kamar. Setengah bagian berkisah tentang kematian dan penghilangan nyawa melalui tangan orang lain. Dunia malam, tampaknya selalu menarik bagi Seno. Hampir sama dengan cerpennya yang lain, setting malam selalu digunakan oleh Seno. Dan bumbu-bumbu sex, criime, dan violence seperti yang ditegaskannya dalam kata pengantar buku ini.

Buku ini dimulai dengan kisah Sila dan pekerjaannya. Pekerjaannya adalah penari telanjang. Dengan bumbu awal aksi Sila di panggung pertunjukan. Kutang yang ditanggalkan, celana yang dihamburkan, dan penonton yang bersorak-sorai.

Lalu, cerita mengalir tetap dengan warna yang sarat dengan kehidupan malam di kota. Setiap pekerjaan memang penuh dengan intrik, tak terkecuali penari telanjang. intrik cinta yang klise dituangkan dalam imajinasi liar. Hubungan intim tak terungkap, perselingkuhan, mata-mata, dan ancaman pembunuhan.

Perselingkuhan, itulah yang memberi nuansa pada cerita ini. Bagaimana perselingkuhan tercipta. Penghianatan pada lembaga perkawinan. Kecemburuan istri dan kecemburuan perempuan simpanan.

Konflik tercipta antara Ubed, istri sah, Sonya perempuan simpanan pertama dan Sila perempuan simpanan kedua. Ubed yang menikmati ranumnya tubuh sila dan keinginan Sila untuk dinikahi Ubed. Dan Seno menggambarkan keliaran-keliaran mereka dengan anggun. 

Sementara tokoh diluar itu: manusia-manusia tanpa wajah, seolah mengancam, setiap detik permainan tak terungkap mereka ciptakan. Manusia tanpa wajah yang setiap saat dapat memindahkan seseorang ke dimensi lain. Mati. Pergi dari dunia yang hiruk-pikuk. 

Ditengah cerita, pembaca akan dihadapkan pada flashback kehidupan Sila. Mulai dari belajar menari, yang akhirnya menjadi bagian terpenting dari kehidupannya. Tari yang adiluhung, tari yang dimainkan di keraton, kuliah yang cumlaude, harapan orang tua--dunia yang baik-baik saja, menari dengan telanjang, adalah rentetan kehidupan Sila.

Hingga menari telanjang dianggap sebagai kejujuran, ekspresi, dan keindahan. Seiring dengan malam yang mulai turun, dan sorak-sorai bergembira, mengikuti naluri manusia yang paling purba. Sensualitas yang teramat jujur dalam sebuah adegan tari.

Hidup Sila terus berlangsung. Intrik yang tercipta, menjadikan kehidupan dan dunia menjadi penuh resiko. Perkenalan, cinta, perselingkuhan, pengkhianatan tak hanya menjangkau dialog intersubyektif. 

Tak hanya "aku" dan "kamu". Tapi menyangkut "dia". Disinilah konflik menjadi diwarnai oleh dendam. Dan manusia tak berwajah mewakili sisi gelap dari sebuah dendam. 

Maka kematian adalah inti dari cerita. Bagi Seno, proses menuju kematian itu jauh lebih penting dan menarik dibangding ending kematian itu sendiri. Dalam kehidupan malam. Seks, selingkuh, bir, jazz, puisi, ciuman, cinta dan bercinta, bar, minuman, teror, mata-mata, orang ketiga, lorong, gelap, Sinta, Rini, Elsa, marsono, Sonya, Ubed, Istri Ubed, manusia tanpa wajah, adalah media yang dapat mengantarkan pada sisi gelap kematian.

Lalu, ilustrasi karya Hendra Suryadi dengan model Lola Amaria menggambarkan berita kematian Sila. Sang penari telanjang menghiasi media. Seperti mengingatkan kita bahwa kematian yang sejenis ini bukan sejenis ini bukan hal jauh diseberang mata.

Bahwa kematian bisa menjadi heroik, menegang atau bahkan legendaris. Saat media mencatat satu persatu, banyak kematian, dari kematian yang tak wajar. Setiap hari ia ada disekitar kita. Mengisi otak-otak setiap kepala. Dan setiap waktu kita menikmati kematian.

Kematian, sepertinya layak terjadi di mana saja. Orang dapat mati di pasar, kantor, masjid, sekolah, bar, sawah, hutan, dan di medan perang. kematian menjadi satu hal yang sangat wajar, meski beberapa orang mati melalui tangan orang lain. 

Seperti Sila atau yang lainnya. Dan Seno mengemas kematian--melalui tangan orang lain--dengan indah. Meski kematian itu--tercerabutnya nyawa, karena kejahatan yang lain. Sebab kejahatan dan kekerasan ternyata ada di sekitar kita. 

Nurul Aini, Mahasiswa Sosiologi Fisipol UGM