Tertinggalkah Peradaban Kita?
Oleh Sulastomo

"TUHAN" telah tiada, begitu sebuah kalimat yang sangat menyentuh hati dari sebuah penerbitan asing, ketika menyajikan foto-foto kekerasan di Indonesia. Padahal, kita semua mengaku sebagai umat
yang beragama. Apa yang salah dengan kemajemukan beragama kita, sehingga antara umat yang beragama, dapat saling bunuh-membunuh dengan cara yang kejam? Bukan karena konflik agama, kata sebagian kita. Sebab, kita memang harus malu, kalau hal itu disebabkan oleh masalah agama. Tetapi, karena kepentingan
politik, golongan atau entah apa lagi. Agama, hanya dijadikan "alat". Bila benar begitu, ini berarti, bahwa kita, ternyata masih belum mampu menjadikan nilai agama mendasari perilaku kita di dalam memperjuangkan kepentingan politik/golongan dalam kehidupan sehari-hari. 

Dengan kenyataan seperti itu, "Tuhan" seolah-olah telah kita anggap tiada. Inilah yang menjadikan seorang pencopet di Jakarta dibakar hidup-hidup sambil disoraki. Dan inilah yang menjadikan seorang ibu
yang hamil terbunuh di Maluku. Dan yang lebih tragis, inilah yang menyebabkan, sekitar 300 orang terbunuh karena kapal yang ditumpanginya tenggelam, karena melarikan diri dari rasa ketakutan
di Maluku Utara. Dan yang lebih tragis lagi, kita semua sudah menganggap berita-berita seperti itu berita yang biasa. Tidak dapat lagi menyentuh hati nurani kemanusiaan kita. Kita tidak ada rasa
takut, bahwa Tuhan, Allah Swt mengetahui semua yang kita lakukan. 

Apa pun alasannya, selayaknya kita prihatin. Kita ditakdirkan hadir di sebuah negara yang beragam agama. Bukan salah kita, seandainya kita harus berbeda agama. Tetapi, apakah benar, kalau keberagaman agama kita, tidak mampu mencegah adanya konflik dalam kehidupan kita? Padahal, kita diajarkan untuk memberi "kasih" kepada orang lain, kepada orang yang bukan se-agama sekalipun. Kita pun diajarkan, bahwa agama kita adalah "rachmat" bagi segenap manusia, tidak hanya "rachmat" bagi pemeluk agama kita sendiri. Apa yang salah dengan kehidupan berbangsa dan bernegara kita?

***
SEBAGAI umat beragama, kita memang mewarisi riwayat yang mungkin kurang menyenangkan. Bagaimana sejarah Eropa menyaksikan kelahiran kaum "Protestan", yang berakibat entah beribu atau berjuta orang menyeberangi lautan Atlantik dan kemudian membangun Amerika Serikat yang sekarang. Bagaimana masyarakat beragama di Eropa, meskipun satu agama, menyaksikan runtuhnya kekuasaan raja-raja di Eropa dengan begitu kejam, meskipun raja-raja itu (sedikitnya) telah "merasa" menjadikan agama sebagai landasan mereka memerintah? Bukankah istana mereka dilengkapi gereja yang megah, yang tentunya menandai penghormatan mereka terhadap agama yang dipeluknya? Herankah kita, kalau semua itu, justru telah melahirkan sebuah paham, pemisahan agama dari negara, yang melandasi paham sekuler? Lahirnya paham ini, sedikit banyak karena ketidakberdayaan para
pemimpin umat beragama di dalam mengemban tugas kenegaraan. 

Dari pelajaran sejarah agama di Eropa itu, yang nota bene dari satu agama (Kristiani), barangkali masih dapat ditambah sejarah di tempat lain. Bagaimana Sayidima Ali, kalifah keempat itu dipenggal
kepalanya dalam peristiwa di Karbala yang terkenal itu, yang ternyata juga merupakan manifestasi konflik pemahaman keagamaan dalam satu agama yang lain? (Islam). Di dalam sejarah modern, kita
bahkan mengenal dua bersaudara Presiden dan Calon Presiden Amerika Serikat, John Kennedy dan Robert Kennedy (yang Katolik) yang terbunuh di tengah masyarakat yang majoritas beragama Kristen (Protestan). Hal ini terlepas dari sulitnya membuktikan adanya latar belakang masalah agama dalam peristiwa itu. Atau, memang konflik yang sering dikesankan antaragama, di mana kita pernah mengenal "Perang Salib", yang menandai "konflik"
Islam-Kristen. 

Belum lagi peristiwa-peristiwa yang menyertai peralihan agama yang dipeluk suatu masyarakat, dari Kristiani ke Islam (Eropa Selatan), kehadiran Jesus yang membawa agama Kristen, serta bagaimana Nabi Muhammad sendiri menyiarkan Islam di kalangan masyarakat Arab sendiri. Meskipun agama-agama itu mengajarkan kebajikan,
perdamaian dan kasih sesama manusia, kehadirannya di sebuah masyarakat dapat dan sering menimbulkan kesalahpahaman, dan bahkan reaksi yang beragam dan terkadang keras. Perubahan sosial, betapapun dirancang untuk lebih baik, agaknya tidak mungkin tanpa riak-riak kecil sampai besar.

Dari tinjauan singkat sejarah seperti itu, apa yang terjadi di Indonesia, yaitu adanya konflik yang menyertakan umat beragama, memang dapat saja dianggap biasa. Optimisme kita mengatakan, bahwa hal itu merupakan bagian dari proses yang harus kita lalui. Yang luar biasa adalah, bahwa sementara konflik antaragama sudah
mereda di tempat lain, kita justru baru saja memulai. Sementara pembunuhan yang begitu kejam sudah mulai hapus di belahan dunia yang lain, kita justru baru mengalaminya. Tertinggalkah peradaban
kita? Mungkin begitu. Hal ini terlepas bahwa kita selalu mengklaim memiliki kebudayaan yang tinggi, dikenal sebagai bangsa yang ramah dan halus budi pekertinya.

Semua itu (tanpa melihatnya dari aspek nilai agama), apabila terus berlanjut, dilihat dari standar kemanusiaan yang wajar, kita sedang mengalami proses degradasi kemanusiaan yang luar biasa. Apa pun
alasannya, keberadaan kita sebagai bangsa yang beradab sedang menghadapi sorotan yang tajam. Dampaknya, tidak saja kita akan mengalami keterasingan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan
politik. Apa yang harus kita lakukan? 
***

DI tengah polarisasi paham kenegaraan, kita sering mengatakan, bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Formula ini, dalam kehidupan sehari-hari, sering menimbulkan
pertanyaan, di mana sesungguhnya letak nilai agama di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Dan lebih dari itu, apa peranan pemerintah, sebagai penyelenggara negara, terhadap nilai-nilai agama?

Peranan agama, sejak zaman Bung Karno dahulu, sering dikatakan sebagai sangat penting di dalam "nation and character building". Formula ini melihat nilai agama, sebagai kekuatan moral yang positif bagi pembentukan karakter bangsa. Dapat dipahami, oleh karena tidak ada agama yang tidak mengajarkan nilai-nilai yang positif bagi
umat manusia. Agama, adalah sebuah potensi moral yang dahsyat dan bukan sumber konflik. Karena penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai agama itulah yang barangkali justru sering menempatkan agama, secara tidak disadari, menjadi saling terasing dan saling tidak mengenal.

Dalam sebuah diskusi di Departemen Agama, yang dihadiri oleh pemuka agama-agama yang lain, saya pernah menyampaikan "kritik" (dengan tenda petik) terhadap Departemen Agama. Meskipun pasti tidak disadari, saya katakan, bahwa organisasi Departemen Agama mungkin dapat menjadi inspirasi adanya konflik antarpemeluk
agama. Sebabnya, karena dalam struktur organisasi Departemen Agama, agama-agama telah dipisahkan oleh dinding yang tebal,melalui struktur organisasi yang disusun berdasar agama, antara lain pembentukan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan lain sebagainya. Sebentar lagi, mungkin
ditambah Kong Hu Chu. Saya dapat memamahi latar belakang pemikiran seperti itu. Antara lain, mungkin berdasar pemikiran, bahwa bimbingan terhadap umat beragama, khususnya yang terkait dengan keimanan dan ketaqwaan, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang seagama. Landasan pemikirannya, berdasar pendekatan yang komprehensif, dari pengamalan agama yang mungkin duniawi (horizontal, hablum minannaas) sampai ke aspek
keimanan dan ketakwaan, yang sifatnya vertikal, hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum minn'Allah). Struktur organisasi seperti itu, sudah tentu membawa implikasi besar-kecilnya tanggung jawab
pemerintah, terhadap besar-kecilnya organisasi direktorat jenderal. 

Selain itu, pemisahan yang demikian jelas juga tidak mendukung tumbuhnya kondisi psikologis yang kondusif untuk saling memahami keberadaan agama-agama. Bahkan, tidak mustahil justru melahirkan saling keterasingan dan kecemburuan antarumat beragama. Saya mengusulkan sebuah struktur organisasi yang dibentuk berdasar
fungsi-fungsi agama, sehingga ada integrasi dalam pengamalan agama, tanpa mencampuri urusan keimanan dan ketaqwaan (hablumminn'Allah).

Saling keterasingan, kurang kenal mengenal inilah yang telah menjadikan agama dapat menjadi sumber konflik. Umat Islam, misalnya, tidak mengetahui, bahwa umat Kristiani memang memerlukan gereja yang banyak, oleh karena setiap "sekte" memerlukan gerejanya sendiri-sendiri. Berbeda dengan umat Islam, semuanya dapat shalat di masjid yang sama, betapa pun ada perbedaan pemahaman agama. Demikian juga semangat yang
berlebihan dari sebagian saudara-saudara kita umat Kristiani, yang memasuki rumah umat Islam, sudah tentu menggelisahkan umat Islam. Semuanya, masih ditambah adanya kelebihan materi, yang
sering dijadikan iming-iming untuk penyebaran agama. Dari aspek ini, upaya untuk saling menyatu, saling kenal mengenal adalah sangat penting, sehingga adanya kesan yang keliru dapat diluruskan.

***
DARI hal-hal yang dikemukakan di atas, selayaknya kita menyadari, bahwa antara umat beragama, terdapat kesenjangan untuk saling kenal-mengenal dan saling memahami permasalahan masing-masing. Meskipun kita harus saling menghargai kesucian nilai-nilai agama masing-masing, sikap seperti itu tidak perlu diwujudkan di dalam bentuk pemisahan fisik, sebagaimana (misalnya) struktur organisasi Departemen Agama (maaf). Bahkan
fungsi-fungsi agama yang sama, mengapa tidak diintegrasikan? Memberantas kemiskinan, menyantuni kaum dhuafa (misalnya) pasti sangat dianjurkan oleh setiap agama. Mengapa di dalam kegiatan seperti ini juga masih terpisah? Umat beragama di Indonesia, ternyata miskin komunikasi, sehingga kurang saling mengenal dan
memahami keberadaan antara yang satu dengan yang lainnya. Inilah barangkali, yang perlu memperoleh perhatian dari kita semuanya. 

* Dr Sulastomo, Ketua Umum Badan Interaksi Sosial Masyarakat
(Bisma). Sumber: Kompas, Selasa 3 Oktober 2000